Kamis, 06 Juni 2013

SATUA BALI




I SERIGALA LAN KENDANG

            Ada katuturan satua buron, I Serigala lan kendang. I Serigala punika ngrasayang seduk pisan. Ia ileh-ileh ngalih amah di alase anew ayah. Makelo suba ia mailehan ngalih amah, kanti neked di lapangan sane linggah tur lapangane ento laad anggona perang.
            Di lapangane ento ada makudang-kudang sarana anggen perang minakadi tameng, tombak, klewang muah sane lianan. I Serigala merasa kenyel pisan lantas ia pules di beten punyan kayune ane gede. Risedek ia pules, ada munyi ane ngranayang ia bangun kapupungan.
            “Gedebug …. Gredeg….. Gredeg…..”
            “Gedebug …. Gredeg….. Gredeg…..”
            I Serigala jejeh pisan, lantas ia magedi tur ngerepak bangun. Sakewala ane ada dikenehne, tuah wirasa kengin pisan nawangin, apake ane mamunyi ento? Ia lantas buin maekin tongos munyine ento .
            “Gedebug …. Gredeg….. Gredeg…..”
            “Gedebug …. Gredeg….. Gredeg…..”
            I Serigala ngalih tongos mengkeb di durin batune ane gede. Mare Ia madengokan, Ia lantas kedek ngerekek, ane tepukina tuah kendange ane kagebug baan carang kayune ane gede tur magalayutan kaampehang angin. Lantas di samping kendange ento tepukina ditu ada amah-amahan. Ia girang pisan lantas Ia ngamah kanti basangne betek.

Selasa, 04 Juni 2013

DEWATANISASI INSANI



DEWATANISASI insani : pemaknaan pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan hindu
KADEK SUMITRA DWI WAHYUNI

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH BALI
STKIP “AH” SINGARAJA

Abstrak : Kajian pustaka menunjukkan, bahwa hakikat pendidikan dalam perspektif Filsafat Pen-didikan Hindu adalah mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani guna mewujudkan divine human (daiwisampat) yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter keraksasaan  (demonic human, asurisampat). Agama Hindu kaya akan resep-resep divine human. Dewatanisasi menuntut penamanan resep-resep divine human di dalam pikiran dan kecerdasan manusia.  Manusia berkarakter kedewataan ditandai oleh pikiran, ucapan dan tindakan yang taat pada resep-resep divine human yang bersumberkan pada agama dan tata aturan lainnya yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Abstract : Literary study shows that education essence in perspective of Hindu education philosophy is to deify human or human divinisation in order to realize the divine human (daiwisampat) and  also  to prevent the appearance of demonic human character (asurisampat). Hindu is rich in divine human recipes. Divinisation demands the divine human recipes investment in mind and in human intelligence. Divine human is marked by intelligence, utterance and action that obey to divine human recipes sourced of religion and other rules that is used in society life.
Kata kunci: pendidikan, divine human, pikiran, ucapan dan tindakan

K
ajian Atmadja (2008) terhadap berbagai karya tulis tentang filsafat ada banyak pengertian tentang filsafat. Namun  di balik keragaman pemaknaan ini gagasan Keraf dan Dua (2001: 34) menarik dikemukakan yang menyatakan, bahwa “... Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebagai tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan penyataan.” Gagasan ini memberikan petunjuk, bahwa filsafat pada hakikatnya adalah bertanya dan terus bertanya guna mendapatkan jawaban yang mendalam  (sedalam-dalamnya), luas (seluas-luas-nya) dan holistik (seholistik-holistiknya) mengenai suatu realitas, ide atau konsep yang bersifat fun-damental (Atmadja, 2010; Woodhouse, 2000).  Berkenaan dengan itu maka (ber-) filsafat berarti “... proses bertanya dan menjawab dan bertanya dan menjawab terus tanpa henti. Itulah filsafat sebuah quest, sebuah pencarian, sebuah question tentang berbagai ide” (Keraf dan Dua, 2001: 16).
Apa pun bisa dipertanyakan secara filosofis, termasuk di dalamnya tentang pendidikan sehingga melahirkan bidang kajian, yakni filsafat pendidikan (Knight. 2007; Jalaluddin dan Idi, 2007; Djum-ransjah, 2006; Alwasillah, 2008;  Surakhmad, 2009; Fudyatanta, 2006). Kebanyakan buku teks filsafat pendidikan memuat gagasan teoritikus Barat. Hal ini dapat dicermati pada buku teks filsafat pendidikan yang ditulis oleh Djumransjah (2006: 26) yang mengutip pendapat Freeman Butt tentang hakikat pendidikan sebagai berikut.
a.  Pendidikan adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebu-dayaan dapat diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.

b.  Pendidikan adalah suatu proses. Melalui proses ini, individu diajarkan kesetiaan dan kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatih dan dikem-bangkan.

c.  Pendidikan adalah proses pertumbuhan. Dalam proses ini individu dibantu mengem-bangkan kekuatan, bakat, kesanggupan, dan minatnya.

d.  Pendidikan adalah rekonstruksi dan reorga-nisasi pengalaman yang menambah arti serta kesanggupan untuk memberi arah bagi pengalaman selanjutnya.

e.  Pendidikan adalah proses. Melalui proses ini, seseorang penyesuaikan diri dengan unsur-unsur pengalamannya yang menjadi ke-pribadian kehidupan modern sehingga dalam mempersiapkan diri bagi kehidupan masa dewasa yang berhasil (Freeman Butt dalam Djumransjah, 2006: 26).

Pola ini tampak pula pada buku teks filsafat pendidikan yang ditulis Saduloh (2003) yang mengutip  makna pendidikan menurut Hooge-veld, Henderson, Hummel, Langeveld, dll. Jikalau pun ada buku teks filsafat pendidikan yang menyinggung tentang filsafat Hindu se-bagaimana yang dilakukan oleh Jalaluddin dan Idi (2007) hanya bersifat  selintas. 

Pemakaian gagasan Barat dalam memaknai  pendidikan tidaklah salah, mengingat ilmu ber-dimensi sosial, dalam arti, dia adalah milik publik sehingga seseorang bisa meminjamnya, asalkan mengikuti etika ilmiah. Walaupun pe-minjaman gagasan Barat sah adanya, namun usaha untuk memunculkan gagasan lain yang bercorak gagasan non-Barat sangat penting. Hal ini berkaitan dengan munculnya evolusi pemikiran manusia, yakni mulai dari pemikiran kosmosentris, berlanjut ke teosentris, antropo-sentris, lalu sampai kepada logosentris. Pemi-kiran logosentris merupakan karakteristik pemi-kiran filsafat postmodern. Filsafat postmodern sangat disukai oleh kelompok ilmuwan Kajian Budaya (Cultural Studies) (Ritzer, 2003; Alwa-silah, 2008; Barker, 2004; Jones, 2009; Sugiar-hato, 1996). Ciri filsafat ini antara lain tidak tunduk kepada narasi-narasi besar – pada umum-nya teori-teori dari dunia Barat, melainkan men-coba menggali narasi-narasi kecil – gagasan-gagasan lokal termasuk di dalamnya berbagai kearifan lokal di dunia Timur. Pencarian ini, tidak hanya untuk memperkaya teori-teori yang sudah ada, tetapi yang lebih penting adalah untuk melakukan resistensi atau bahkan pembongkaran terhadap teori-teori yang telah mapan.

Bertolak dari gagasan filsafat postmodern maka kajian terhadap pemikiran dunia Timur yang bersumberkan dari ajaran agama dan kearifan lokal, tidak saja penting, tetapi juga sangat mendesak guna mengimbangi kuatnya hegemoni pemikiran Barat. Dalam konteks inilah dicoba untuk  mengkaji tentang pendidikan dengan menggunakan pendekatan filsafat pendidikan. Manurut Alwasillah (2008), Surakhmad (2009), Knight (2007) dan Jalaluddin dan Idi (2007) filsafat pendidikan mengkaji pendidikan secara filosofis antara lain memper-tanyakan tentang “Apa itu pendidikan? Dalam rangka menjawab pertanyaan ini dilakukan studi kepustakaan terhadap berbagai buku teks tentang Agama Hindu antara lain ditulis oleh Titib (1996, 2003), Sivananda (2005, 2006), Tapasyananda (2008), Singh, 2004, 2007), Anandamurti (2008), Pandit (2005), Pendit (2005, 2007), Zimmer (2003), Machwe (2000), Saraswati (2009), dll.

Kajian terhadap buku-buku teks filsafat pendidikan dan buku teks yang memuat teori-teori sosial budaya tidak bisa diabaikan, baik sebagai perbandingan maupun pengayaan wa-wasan teoretik. Ungkapan-ungkapan kebahasaan tentang pendidikan pada buku teks tersebut dicari makna denotatif dan konotatif sehingga pema-haman atas masalah yang dikaji bisa lebih tuntas (Barthers, 2007; Culler, 2003; Hoed, 2008; Ricoeur, 2002, 2006). Kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan dari cara-cara berpikir kefilsafatan, yakni kesadaran diri, kemenyeluruhan, penem-busan, dan fleksibilitas (Knight, 2007: 9-11). Dengan cara ini diharapkan untuk mendapatkan pengetahuan yang dalam, luas, dan holistik ten-tang hakikat pendidikan menurut Agama Hindu yang berlanjut pada kemanfaatannya, yakni menambah narasi alternatif tentang pendidikan sehingga hegemoni pemikiran Barat tertandingi, baik pada tataran kognisi maupun praksis pendidikan.



PEMBAHASAN

Tuhan yang diberikan label Maha Tahu dan Maha Pencipta, selain menciptakan manusia  dan alam semesta, Tuhan  memberikan pula agama wahyu. Agama Hindu sebagai agama wahyu,  terkodifikasi dalam bentuk kitab suci Veda. Veda  disertai dengan aneka teks tafsir, seperti  kitab Brahmana, Upanisad, Wiracarita, dan lain-lain  sehingga melahirkan seperangkat ajaran agama yang bersifat kontekstual (Mittal, 2006; Prabhavananda, 2006; Saraswati, 2009; Pandit, 2005). Agama Hindu sangat kaya akan ide-ide filsafat, tidak saja tercermin pada ajarannya, te-tapi juga pada munculnya aneka aliran filsafat dalam Agama Hindu (Pendit, 2007). Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika filsafat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Agama Hindu.

Walaupun kaya akan filsafat, namun Agama Hindu tidak mengenal istilah filsafat, melainkan memakai istilah darshana. Istilah darshana di-samakan dengan filsafat. Kata darshana berarti melihat atau mengalami. Pemaknaan seperti ini memberikan petunjuk, bahwa  filsafat dalam konteks Agama Hindu, tidak hanya merupakan spekulasi metafisika, tetapi didasari pula oleh data langsung. Pengalaman langsung adalah sumber darimana pikiran India mengalir, dan ini diterima sebagai dasar filsafat di India (Prabhavanda, 2006). Gagasan ini menarik, karena menunjukkan kesamaan dengan gagasan Alfred North Whiteheid (dalam Bria, 2008: 23) tentang filsafat yang dianggap memiliki dua wajah sekaligus, yakni rasional dan empiris. Hu-bungan antara keduanya bersifat dinamis, saling menguji, menjelaskan, menjustifikasi, bahkan memfalsifikasi. Kata kuncinya adalah kesesuaian antara kerangka dan materinya. Hal ini harus di-usahakan oleh filsafat, sehingga darshana  tidak hanya memuat pemikiran spekulasi metafisika, tetapi memuat pula pengalaman atau meminjam ide Immanuel Kant memadukan antara rasio-nalisme dan empirisme (Atmadja, 2010; Tjah-jadi, 2007).

Walaupun filsafat Hindu sangat menghargai olah pikiran dan pengalaman, namun ada aspek penting yang membedakannya, yakni penghar-gaan terhadap intuisi (Sivananda, 2006).  Gejala ini berkaitan dengan hakikat manusia, yakni memiliki kesadaran supra yang memberikannya kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara intuitif  yang di dalamnya mencakup  olah rasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004; Acarya, 1991). Jadi, dalam rangka mendapatkan pengetahuan, filsafat Hindu tidak hanya ber-muatan olah pikiran (rasionalisme) dan olah pengalaman (empirisme) atau memadukan wa-dah rasional dan empiris sebagaimana yang lazim berlaku pada filsafat Barat, melainkan meminjam gagasan Knight (2007) memper-hatikan pula intusi yang di dalamnya mencakup kesadaran supra, olah rasa dan olah batin. Na-mun di balik pencarian kebenaran secara falsafati maka peran Agama Hindu  sebagai sumber kebe-naran tidak bisa diabaikan. Agama Hindu adalah kebenaran yang berdimensi kewahyuan sehingga kualitasnya bersifat absolut dan tak tercampuri (murni).

Teks suci Veda dan tafsirnya, tidak saja memuat tentang tata kelakuan keagamaan, tetapi memuat pula aneka tata kelakuan sosial. antara lain tentang pendidikan. Cakupannya sangat luas dan kompleks sehingga bisa menjawab perma-salahan pendidikan yang lazim dipertanyakan dalam filsafat pendidikan. Bertolak dari kenya-taan ini tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa Agama Hindu mengenal filsafat pendidikan atau secara lebih spesifik bisa disebut Filsafat Pendidikan Hindu. Adapun gagasan Filsafat Pendidikan Hindu tentang hakikat pendidikan (Apa itu pendidikan?) adalah sebagai berikut.

Pendidikan adalah dewatanisasi insani 

Manusia adalah makhluk pendidikan (homo educadum), sebab berkemampuan mendidik dan dididik (Suhartono, 2006). Begitu pula kelang-sungan hidup manusia baik sebagai sistem organisme maupun kepribadiannya, dan sistem sosial bentukannya, bergantung pada pendidikan (Parsons, 195; Much, 2008). Realitas ini disadari oleh Agama Hindu, terbukti dari kenyataan, bahwa Agama Hindu banyak mengkaji masalah pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal, terlihat pada ungkapan-ungkapan teks kuno se-bagai berikut.

(1)     Sa vidya ya vimuktaye

        (Pembelajaran adalah yang membebaskan manusia)

(2)     Vidya tritiyo netrah

        (Pembelajaran seperti mata ketiga)

(3)    Vidyayamrihtamashnute

        (Pembelajaran membuat manusia abadi)

(4)    Na hi jnanen sadrisnham pavitramih vidyate

        (Tidak ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan)

(5)     Vidya balam chandrabalamstathaiva

       (Mudah-mudahan kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan menganugrahi kamu sekalian)

(6)    Vidya gurunam guruh

        (Pengetahuan merupakan gurunya guru)

(7)    Kim kim na sadhyati Kalpalateva vidya

       (Apa yang tidak dijumpai oleh pembe-lajaran itu? Ia merupakan sebuah tum-buhan magis atau pohon kebijaksanaan)

(8)    Vidya vihinah pashuh

(Seseorang yang tanpa pembelajaran ada-lah binatang) (Machwe, 2000: 162-163).

Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bah-wa Agama Hindu sangat menghargai pentingnya pengetahuan bagi kehidupan manusia. Gagasan ini sangat tepat, terbukti dari adanya kenyataan, bahwa pada era postmodern atau pascakapitalis saat ini, sumber ekonomi dasar tidak lagi alat-alat produksi, modal, daya alam, dan tenaga kerja, melainkan pengetahuan (Drucker, 1997). Begitu pula keunggulan negara negara-negara kapitalis global tidak bisa dilepaskan dari ke-mahakayaan modal (ilmu) pengetahuan yang di-aktualisasikan dalam berbagai produk teknologi canggih.  Perolehan pengetahuan didapat melalui pembelajaran. Kemampuan belajar merupakan aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak hanya karena belajar adalah pintu gerbang bagi pengetahuan, tetapi juga karena  kemampuan belajar adalah aspek penting yang membedakan manusia daripada binatang – perilaku binatang terprogram secara naluriah.

Namun manusia tidak saja mengenal pembelajaran – aktivitas yang lebih menekankan pada pemupukan kognisi, tetapi mengenal pula pendidikan – aktivitas pembentukan watak atau karakter insani (Knight, 2007). Agama Hindu menyebut pendidikan dengan istilah aguron-aguron atau asewakadharma.  Pendidikan bisa dilakukan di sekolah atau  pada zaman Veda disebut sakha atau patasala. Pada masyarakat Bali mengenal istilah asrama, pasraman atau katyagan (Titib, 2003; Prabhavananda, 2006). Apa pun nama lembaga pendidikan, baik asrama maupun sekolah, pasti memiliki tujuan – hakikat manusia sebagai makhluk teleologis. Dengan mengacu kepada Suhartono (2006: 80) tujuan pendidikan adalah “... pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan matang dalam hal berperilaku”.

Gagasan Suhartono (2006) menarik dicermati, mengingat bahwa kata pendewasaan yang sebagai salah satu dimensi tujuan pendidikan merupakan turunan dari kata dalam Bahasa Sanskerta, yakni dewasa (dewa dan sya yang berarti memiliki sifat sebagai dewa). Titib (2003) menjelaskan makna kata dewasa sebagai berikut.

Bila kita kaji tentang makna pendidikan mengandung arti mengantarkan seorang anak menuju ke tingkat dewasa atau kedewasaan .... maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya dengan kata dewa atau devata, dimaksudkan seorang itu dalam perilakunya sudah memiliki sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena kata dewasa (dewasya) berasal dari kosa kata bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat dewa, juga berarti yang bercahaya, tentu diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran ketuhanan atau memancarkan nilai-nilai ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifat-sifat keraksasaan (Asurisampat) (Titib, 2003: 4).

Dengan demikian, dilihat dari makna kata dewasa, maka tujuan pendidikan bukanlah men-jadikan peserta didik agar dewasa dalam arti  perkembangan badaniah seperti dikemukakan Suhartono (2006), tetapi lebih mengarah kepada menjadikan insan berkarakter kedewataan (dai-wisampat) atau divine human yang sekaligus berarti mencegah kehadiran manusia berkarakter keraksasaan (asurisampat) atau demonic human. Dengan meminjam pendapat Surakhmad (2009) gagasan ini  jelas bernuansa filosofis, sebab kandungannya tidak sekedar memenuhi hasrat ingin tahu tentang hakikat pendidikan, tetapi memuat pula cita-cita ideal tentang tujuan pendidikan – mewujudkan divine human. Pendek kata, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah proses mendewatakan manu-sia  atau dewatanisasi insani  yang sekaligus ber-arti mencegah kemunculan insan berkarakter raksasa (deraksasani insani). Dengan kata lain bisa pula dikemukakan, bahwa hakikat pendi-dikan menurut pandangan Filsafat Pendidikan Hindu memiliki wajah ganda, yakni dewatanisasi insani dan deraksasanisasi atas manusia (mem-basmi sifat-sifat raksana) sehingga melahirkan insan ideal, yakni divine human atau daiwi-sampat, bukan manusia berkarakter raksasa, asurisampati atau demonic human.

Ciri-ciri  Divine Human

Pemaknaan pendidikan sebagai dewata-nisasi insani atau deraksasanisasi insani guna membentuk daiwisampat atau divine human, bukan manusia  asurisampati atau demonic human, memberikan petunjuk, bahwa Agama Hindu menggunakan konsep oposisi biner (rwa bhineda) dalam melihat eksistensi manusia. Ga-gasan ini berkaitan erat dengan pandangan Agama Hindu tentang hakikat manusia, yakni secara substansial terdiri dari unsur tubuh, pancaindra, pikiran (manah), budi (budhi, kecerdasan), dan atman (rokh, spriton, kesa-daran) (Singh, 2004, 2007). Kepemilikan tubuh dan pancaindra memunculkan hasrat atau kama. Hasrat selalu berkecenderungan untuk menikmati sesuatu yang menyenangkan. Gagasan ini tidak jauh berbeda daripada gagasan Aristoteles tentang tujuan hidup manusia, yakni mencari nikmat dan menghindarkan rasa sakit (Magnis-Suseno, 2010).

 Pengaktualisasian hasrat atau kama selalu dibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensi benar dan patut dan tamas guna – tendensi-ten-densi salah dan tidak patut. Bayangan tattwa guna dan tamas guna tidak bisa dilenyapkan, karena keduanya melekat pada tubuh manusia. Akibatnya, dalam memenuhi hasrat  manusia se-lalu berpeluang untuk berbuat baik (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas guna) (Singh, 2004, 2007; Sudharta, 2001, 2009; Pandit, 2005). Dengan demikian, secara psiko-genetik manusia adalah makhluk berkarakter ganda, yakni  kedewataan dan keraksasaan se-hingga melahirkan divine human dan demonic human. Manusia selalu berpeluang untuk berbuat kebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas guna) baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.  Kemana peluang karakter manusia, apakah sattwa guna (divine human) atau tamas guna (demonic human), bergantung pada dominasi proporsi masing-masing sebagai satu kesatuan dalam tubuh manusia (Pendit, 2005).

Kemunculan perbuatan baik atau buruk dalam memenuhi hasrat, selain karena keme-lekatan sattwa guna dan tamas guna pada tubuh manusia, bergantung pula pada pengendalian pikiran (manah) dan kecerdasan (budhi) (Singh, 2004, 2007; Sudharta, 2001).  Pikiran dan kecer-dasan  memberikan pertimbangan atas dasar ra-sionalitas dan moralitas atau akal sehat dan rasa, yakni rasa malu, salah, takut, dan dosa (Atmadja, 2010). Tubuh dan pancaindra sebagai sumber hasrat – manusia pabrik hasrat, selalu menuntut kenikmatan optimal. Akibatnya, terjadi Brata-yuddha yang ajeg dalam tubuh manusia, yakni perang antara partai Korawa, simbol tubuh, pancaindra dan hasrat berlandaskan tamas guna, dan partai Pandawa, simbol tubuh, pancaindra, dan hasrat yang dikendalikan oleh manah dan budhi berlandaskan sattwa guna.  Jika Korawais-me (Duryadanaisme), tubuh, pancaindra, dan hasrat  mengalahkan Pandawaisme manah, budhi dan sattwa guna. Maka muncul tindakan manu-sia bersifat tamas guna atau keraksasaan. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yakni Pandawaisme (Yudistiraisme), manah dan budhi mampu me-ngendalikan Korawaisme tubuh, pancaindria has-rat, dan tamas guna maka muncullah tindakan sattwa guna atau kedewataan.

Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi insani secara ideal diarahkan kepada pembentukkan manusia berkarakter ideal, yakni: pertama, mampu mengendalikan dominasi dan hegemoni tubuh, pancaindra dan hasrat  atas manah (pikiran) dan budhi (kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikan manah dan budhi sebagai kekuatan dominatif dan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan has-rat. Kedua, sattwa guna mengendalikan tamas guna. Ketiga, pengikut setia partai Pandawa (Pandawaisme, Yudistiraisme) dan mengabaikan partai Korawa (Korawaisme, Duyadanaisme). Keempat, karakter kedewataan mengendalikan karakter keraksasaan atau divine human mengen-dalikan demonic human. Walaupun berpihak pada daya manah dan budhi, sattwa guna, Pan-dawaisme atau divine human, namun tidak berarti, bahwa  daya tubuh, panca-indra, hasrat, tamas guna, Kowaisme atau demonic human, karena secara substansial tidak bisa dilenyapkan, bahkan harus ada dalam konteks kehidupan manusia.

 Unsur-unsur ini tidak bisa  dinolkan, tidak saja karena sattwa guna dan tamas guna melekat secara psikogenetik dalam tubuh manusia, tetapi juga karena sesuai dengan hukum rwa bhineda, yakni pemilahan atas dua hal berbeda secara berlawanan dalam konteks dialektika kebermak-naan. Misalnya, kebaikan, kebajikan atau  dha-rma tidak bisa lepas dari kejahatan, keburukan atau adharma. Mahabrata memberikan peng-gambaran tepat tentang hal ini, yakni  partai Korawa memang kumpulan orang-orang jahat, namun ada pula titik kebaikannya, misalnya kehadran tokoh Bisma. Pandawa memang kum-pulan orang-orang baik, namun ada celanya.  “Bukankah mereka suka berjudi?’ Begitu pula pascabratayudha, karena Kowara mati secara total, maka Pandawa sebagai simbol kebajikan juga mati satu persatu. “Mengapa Pandawa mati?” Sebab, keberadaan Pandawa sebagai sim-bol kebajikan tidak bermakna lagi, karena tidak ada keburukan (Atmadja, 1984). Gagasan seperti ini bisa pula dicermati pada teodise Agustinian yang menyatakan, bahwa “... Kejahatan secara aksidental disebabkan oleh kebaikan; atau keja-hatan adalah ‘ketiadaan kebaikan’ (privatio boni) (Bria, 2008: 52). “Bukankah kebaikan pun dapat muncul dari pengalaman akan keburukan, a blessing in disguise?” (Bria, 2008: 82).

Dengan demikian, walaupun Agama Hindu menganut azas oposisi biner, namun  meminjam Gunawan (2010), berbeda daripada ide Aristo-teles yang menganut azas bivalensi yang memuat pemilahan atas dua bagian, di mana manusia ha-rus memilih “ini” atau “itu.  Ibarat sebuah film coboy, pelaku lakonnya terbagi dua, yakni “orang baik” dan “orang jahat”. Sebaliknya, Agama Hindu, begitu pula Agama Buddha menganut azas oposisi biner bukan bivalensi, melainkan multivalensi yang terkait dengan Logika Samar atau Fuzzy Logic. Multivalensi dalam Logika Samar mencoba melihat nuansa-nuansa dalam menangkap kebenaran. Ada “orang baik tetapi ada cacatnya” dan “orang jahat tetapi ada segi baiknya. Tak ada manusia yang sem-purna, tetapi selalu ada cacatnya. Kondisi bivalensi dalam logika samar menyatu dengan sang diri mengikuti rentangan waktu atau sang kala, sehingga tidak mengherankan jika bukan pada hari ini, maka sepanjang hidupnya, baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang manusia selalu berpeluang untuk berbuat tidak baik (salah) atau sebaliknya berbuat kebajikan.

Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi insani sebagai proses dan tujuan pendidikan, arahnya bukan melenyapkan daya tubuh, panca-indra, hasrat, tamas guna, Korawaisme atau demonic human secara total, melainkan mengen-dalikannya agar melahirkan manusia yang berpihak pada daya manah, budhi, sattwa guna, Pandawaisme atau divine human. Dalam konteks inilah maka pendidikan sebagai dewatanisasi insani harus menanamkan berbagai indikator tindakan yang mencerminkan divine human. Kajian terhadap berbagai teks Agama Hindu, yakni Veda (Titib, 1996; Bose, 2000; Saraswati, 2009; Mittal, 2006) dan berbagai teks tafsirnya, terlihat misalnya pada karya Tapasyananda (2008), Pandit (2005), Sudharta (2007, 2009), Sivananda (2005), dan lain-lain, dapat diketahui, bahwa banyak tata kelakuan atau resep bertindak yang semestinya ditanamkan guna mewujudkan divine human. Misalnya, (1) bhakti kepada Tu-han; (2) ahimsa (nirkekerasan); (3) cinta kasih (Tuhan adalah cinta kasih dan cinta kasih adalah Tuhan; (4) tidak sombong; (5) sabar; (6) derma-wan atau murah hati; (7) tidak egois; (8)  memi-liki rasa syukur; (9) memiliki rasa terimakasih; (10) mampu mengendalikan pikiran, kemarahan, keinginan (indria) dan diri sendiri; (11) meng-anggap setiap manusia sama derajatnya; (12)  membuang kebencian dan kekejian; (13) hidup sederhana secara berkemaknaan; (14) melakukan kebaikan termasuk di dalamnya rela berkorban untuk kesejahteraan orang lain; (15)  mem-berikan pengampunan; dan (16) percaya pada diri sendiri, dll. Pendek kata, Agama Hindu menye-diakan tata kelakuan atau resep bertindak yang amat kaya guna mewujudkan divine human melalui dewatanisasi insani. Secara umum hal ini bisa disebut resep divine human atau resep  daiwisampat.

Orang Hindu tidak saja sebagai orang yang memiliki Agama Hindu, tetapi juga sebagai warga negara dan masyarakat. Negara dan mas-yarakat memiliki tata aturan, yakni dharma negara. Sedangkan Agama Hindu disebut dhar-ma negara. Orang Hindu sebagai warga masya-rakat dan negara merupakan pula warga masyarakat dunia. Apalagi pada era globalisasi secara disadari maupun tidak, manusia berada pada lingkungan kampung global (Atmadja, 2010). Kondisi ini menimbulkan implikasi, bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi dalam konteks mewujudkan divine human,  tidak cukup hanya menginternalisasikan ajaran Agama Hindu (dharma agama), melainkan wajib pula meng-internalisasikan tata aturan masyarakat dan negara atau dharma negara dalam skala nasional dan global agar interaksi sosial antarwarga dalam lingkup negara dan atau antarnegara berjalan secara berkedamaian.

Namun apa pun bentuk resep divine human, maka penanamannya  dilakukan pada pikiran manusia. Gagasan ini berkaitan dengan filsafat Vedanta dan Katha Upanisad tentang hakikat manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman). Tubuh dapat diibaratkan dengan kereta. Rokh adalah penumpang kereta. Kecerdasan adalah kusirnya. Pikiran adalah tali kendali, dan panca-indria adalah kuda-kudanya (lima ekor kuda pe-nanda lima alat indria). Jiwa adalah penikmat atau penderita, tergantung pada pikiran dan indria-indrianya (Singh, 2004, 2007). Gagasan ini memberikan petunjuk, bahwa dewatanisasi insani pada dasarnya adalah menanamkan resep-resep divine human di dalam pikiran manusia. Aneka resep divine human ini tidak sekedar disimpan dalam pikiran – berfungsi sebagai peta kognisi, tetapi sekaligus juga mengendalikan pikiran (aspek evaluatif). Gagasan ini sangat penting mengingat pendapat Sivananda (2005) sebagai berikut.

Ketika anda sudah berhasil mengendalikan pikiran, maka anda akan memiliki kendali atas tubuh anda. Tubuh hanyalah bayangan dari pikiran. Ia hanyalah konstruksi yang dibuat oleh pikiran untuk mengekspresikan dirinya. Tubuh akan menjadi budak anda ketika anda sudah berhasil menaklukkan pikiran (Siva-nanda, 2005: 28).

Sebagaimana terlihat pada perumpamaan di atas, yakni pikiran adalah tali kendali kuda (pan-caindria) yang menarik kereta (tubuh), dan kusir (kecerdasan) adalah pemegang tali kendali, maka implikasinya, sejauh mana pikiran mampu mengendalikan tubuh dan pancaindria, bergan-tung pula pada kusir (kecerdasan). Berkenaan dengan itu maka pendidikan sebagai dewata-nisasi insani tidak cukup hanya menanamkan resep-resep divine human dalam pikiran, melain-kan membutuhkan pula peningkatkan kecer-dasan. Dalam konteks inilah teori-teori kecer-dasan, yang mencakup kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, dan sosial (Efendi, 2005) tidak bisa diabaikan guna mewujudkan divine human. Pencermatan terhadap resep-resep divine human seperti dikemukakan di atas – hanya contoh kecil tentu bisa digali lebih dalam lagi pada teks Agama Hindu, bisa berfungsi ganda, yakni menambah daya pikir dan kecerdasan. Agama Hindu amat kaya akan resep dinine human tidak kalah pentingnya daripada agama yang lain maupun teori-teori sosial budaya.

Aneka resep divine human yang ditanam-kan, baik  dalam pikiran maupun pembentukkan kecerdasan, kebermaknaannya terlihat dalam perubahan pada peta kognisi yang berlajut ke praksis berbentuk tindakan dan ucapan bercorak divine human. Divine human tidak saja menuntut perubahan pada pikiran – kaya aspek kogintif dan evaluatif, melainkan menuntut pula kon-sistensi pada ucapan dan tindakan atau Tri Kaya Parisudha -  pikiran (manacika), ucapan (wa-cika) dan (kayika) membentuk suatu kesatuan. Namun kunci utamanya, tetapi  terletak pada pi-kiran, karena pikiran sebagai gudang ide ber-wujud aspek kognisi dan evaluatif adalah rajendra, yakni  raja yang berkuasa mengen-dalikan alat indra, tubuh dan hasrat. Jika manusia berhasil mengendalikan pikiran dengan meng-gunakan idea yang ada di dalam pikirannya, baik sebagai peta kognisi maupun aspek evaluatif yang berlanjut pada penguasaan atas alat  indria, tubuh dan hasrat, maka peluang bagi kemunculan divine human sangat besar. Berkenaan dengan itu maka gagasan Finger dan Asun (2004) bahwa pendidikan adalah perubahan pikir sebagai iden-tik dengan proses pengembangan dewasa – ber-makna memiliki karakter dewa, sama dengan gagasan Filsafat Pendidikan Hindu tentang pen-didikan sebagai dewatanisasi insani – proses menjadikan manusia sebagai makhluk berka-rakter dewa atau deraksasanisasi insani – proses menjadikan manusia agar menanggalkan karakter keraksasaan.

Gagasan Agama Hindu tentang kema-nunggalan tubuh  dengan sattwa gana dan tamas guna, begitu pula manusia adalah pabrik hasrat dan pikiran acap kali gagal mengendalikannya, bahkan hasrat (tubuh, pancaindria) menguasai pikiran sehingga peluang manusia untuk berbuat buruk selalu terbuka. Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwa pendidikan sebagai proses mendewasakan (dewasanisasi) atau mendewa-takan manusia (dewatanisasi) tidak berhenti ha-nya pada saat manusia mencapai taraf  kedewa-saan biologis, melainkan berlangsung sepanjang hayat. Selain keewasaan secara biologis, manusia menuntut pula kendewasaan secara sosiobudaya yang berlangsung sepanjang hayat. Usaha mewu-judkan kedewasaan secara sosiobudaya tidak mudah, baik karena faktor psikogenetik – manu-sia memiliki tubuh, pancaindria, hasrat, dan tamas guna maupun karena pengaruh lingkungan sehingga sepanjang perjalanan hidupnya, ma-nusia selalu berpeluang  untuk berbuat kejahatan. Berkenaan dengan itu maka gagasan UNESCO bahwa manusia harus melaksanakan pendidikan permanen, yakni  menciptakan masyarakat di mana setiap orang belajar tanpa dibatasi oleh waktu, sangatlah tepat. Perubahan sosial dan budaya mengharuskan manusia, baik yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa untuk secara terus-menerus mendewasakan pikirannya (Finger dan Asun, 2004). Gagasan ini sangat cocok dengan Filsafat Pendidikan Hindu yang melihat, bahwa manusia adalah multivalensi yang terkait dengan logika samar, sehingga tidak ada manusia yang murni baik atau sebaliknya, yakni murni jahat. Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi tidak saja menjadi suatu keharusan bagi manusia, tetapi juga berlangsung sepanjang hayat. Jika dewatanisasi berhenti, maka hasrat yang menyatu dengan virus tamas guna bisa memunculkan penyakit, yakni perilaku menyimpang pada sistem sosial –  yang paling hebat apa yang oleh  Whitehead (dalam Bria, 2008) disebut kejahatan moral.

PENUTUP

Berdasarkan paparan di atas dapat disim-pulkan, bahwa Agama Hindu memiliki Filsafat Pendidikan Hindu yang bersumberkan pada Veda dan teks tafsirnya, dikombinasikan dengan rasionalisme, empirisme dan intuisi sehingga kebenaran yang didapat juga bersifat metafisik. Topik-topik yang lazim dikaji dalam filsafat pendidikan ada di dalam Agama Hindu, di anta-ranya adalah pendidikan. Agama Hindu mengga-riskan, bahwa hakikat adalah proses untuk mewujudkan manusia berkarakter kedewataan, daiwisampat, divine human atau Pandawaisme. Sebaliknya, mencegah timbulnya manusia yang berkarakter keraksasaan, asurisampat, demonic human atau Korawaisme. Berkenaan dengan itu maka hakikat, proses, dan tujuan pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu bisa disebut sebagai dewatanisasi insani atau derak-sasanisasi insani.

Pencapaian sasaran dewatanisasi insani dilakukan dengan cara menanamkan resep-resep divine human di dalam pikiran dan kecerdasan peserta didik. Dalam konteks ini Agama Hindu memuat ajaran yang rinci tentang resep-resep divine human sebagaimana terlihat pada kitab suci Veda dan teks-teks tafsinya. Penanaman resep-resep divine human amat penting, tidak semata-mata berguna bagi pengendalian pikiran, tetapi berlanjut pula pada penguatan kecerdasan yang berujung pada pengendalian tubuh dan pancaindria. Jika pikiran dan kecerdasan kaya akan resep-resep divine human, maka tubuh dan pancaindria akan terkendalikan sehingga tercapai human divine, tidak saja dalam pikiran, tetapi juga pada ucapan dan tindakan. Manusia secara psikogenetik dan sosiobudaya selalu berpeluang untuk berbuat jahat. Karena itu, dewatanisasi harus berlangsung sepanjang hayat dikandung badan.  








DAFTAR RUJUKAN




Alwasilah, A.C. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anandamurti, S.S. 2008. Pengetahuan Spritual di dalam Kitab Weda. (A’C Vibhakarananda Avt Pener-jemah). Denpasar: Ananda Marga Indonesia.

Atmadja, N.B. Wiracarita Ajaran Agama Hindu. Singaraja: Akademi Pendidikan Agama Hindu Singaraja.

Atmadja, N.B. 2008. Buku Ajar Filsafat Ilmu Pengetahuan Jilid I. Singaraja: Program Pasca-sarjana Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha).

Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Pergerakan, Identitas Kultural dan Globalisasi. Yogyakarta: KLiS.

Barker, C. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthers, R. 2007. Petualangan Semiologi. (S.A Herwinarto Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bria, E. 2008. Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan Percikan Filsafat Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.

Bose, A.C. 2000. Panggilan Veda. (I Wayan Maswinara Penerjemah). Surabaya: Paramita.

Culler, J. 2003. Barthers. (Ruslani Penerjemah). Yogya-karta: Jendela.

Djumransjah. H.M. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Banyumedia Publishing.

Drucker, P.F. 1997. Masyarakat Pasca Kapitalis. (Tom Gunadi Penerjemah). Bandung: Angkasa.

Efendi, A. 2003. Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik MI, EI, SQ dan Successful Inteligence atas IQ. Bandung: Alfabeta.

Finger, M. dan J.M. Asun. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa. (Nining Patikasari Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Kendi.

Fudyatanta, Ki. 2006. Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidikan Pancasila Wawasan Secara Sistematik. Yogyakarta: Amus.

Gunawan M. I. 2010. “Aristoteles dan Buddha”. Harian Kompas, Selasa, 29 Juni 2010. Halaman 6.

Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Bu-daya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Ba-hasa, UI Depok.

Keraf, A.S. dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Se-buah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.

Knight, G.R. 2007. Filsafat Pendidikan. (Mahmud Arif Penerjemah). Yogyakarta: Gama Media.

Jalaluddin, H. dan A. Idi. 2001. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.

Magnis-Suseno, F. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisisu.

Pandit, B. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya. (IGA Dewi Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.

Parsons, T. 1951. The Social System. Glencoe, III: Free Press.

Pendit, N.S. 2005. Vedanta Percik-percik Renungan Swami Vivekananda Permata Warisan Filsafat dan Etos Kerja Modern. Denpasar: Penerbit Bali Post.

Pendit, N.S. 2007. Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana Enam Aliran Astika (Ortodok). Denpasar: Bali Post.

Prabhananda, S. 2006. Agama Veda dan Filsafat. (I Nyoman Ananda Penerjemah). Surabaya: Paramita.

Machwe, P. 2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. (Ida Bagus Putu Suamba Penerjemah). Denpasar: Widya Dharma.

Mittal, M. 2006. Pesan Tuhan untuk Kesejahteraan Umat Manusia Intisari Veda. (I Wayan Punia Penerjemah). Jakarta: Paramita.

Much, R. 2008. “Teori Parsonian Dewasa Ini: Sebuah Pencarian Sintesis Baru”. Dalam A. Giddens dan J. Turner ed., Social Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial. (Yudi Santoso Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricoeur, P. 2002. The Interpretation Theory Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Ba-hasa. (M. Hery Penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.

Ricouer, P. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. (M. Syukri Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wavana.

Ritzer, G. 2003. Teori Sosial Postmodern. (M. Taufik Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sadullah, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.

Saraswati, S.C. 2009. Peta Jalan Veda. (Hira Gindwani dan Ni Putu Anggia Jenny Penerjemah). Den-pasar: Media Hindu.

Singh, T.D. 2004. Seri Vedanta dan Sains Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya. (Tim Penerjemah). Bali:Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia.

Singh, T.D. 2007. Kehidupan dan Evolusi Spiritual. (Made Wardhana Penerjemah). Bali: Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia.

Sivananda, S.S. 2005. Pikiran Misteri dan Penak-lukannya. Surabaya: Paramita.

Sivananda, S.S. Penebar Ceritra Kebajikan. (I Made Aripta Wibawa Penerjemah). Surabaya: Para-mita.

Sudharta, T.R. 2000. Sarassamuccaya Smerti Nusantara (Berisi Kamus Jawa Kuno-Indonesia). Surabaya: Paramita.

Sudharta, T.R. 2001. Ajaran Moral dalam Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.

Suhatono, S. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Surakhmad, W. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Strategi. Jakarta: Kompas.

Tapasyananda, S. 2008. Filosofis dan Keagamaan Swami Vivekananda. (IGA Dewi Paramita Pener-jemah). Surabaya: Paramita.

Tjahjadi, S.P.L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan dari Descartes sampai Withehead. Yogyakarta: Kanisius.

Tapasyananda, S. 2008. Wejangan Filosofis dan Keagamaan Swami Vivekananda. (IGA Dewi Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.

Titib, I M. 1996. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.

Titib, I M. 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama Hindu). Bandung: Gabesa Exact.

Woodhouse, M.B. 2000. Berfilsafat sebuah Langkah Awal. (A.N. Permata dan P. H. Hadi Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius.

Zimmer, H. 2003. Sejarah Filsafat India. (Agung Prihantoro Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.