Funny photo effects
Selasa, 11 Juni 2013
Kamis, 06 Juni 2013
SATUA BALI
I
SERIGALA LAN KENDANG
Ada
katuturan satua buron, I Serigala lan kendang. I Serigala punika ngrasayang
seduk pisan. Ia ileh-ileh ngalih amah di alase anew ayah. Makelo suba ia
mailehan ngalih amah, kanti neked di lapangan sane linggah tur lapangane ento
laad anggona perang.
Di
lapangane ento ada makudang-kudang sarana anggen perang minakadi tameng,
tombak, klewang muah sane lianan. I Serigala merasa kenyel pisan lantas ia
pules di beten punyan kayune ane gede. Risedek ia pules, ada munyi ane
ngranayang ia bangun kapupungan.
“Gedebug
…. Gredeg….. Gredeg…..”
“Gedebug
…. Gredeg….. Gredeg…..”
I
Serigala jejeh pisan, lantas ia magedi tur ngerepak bangun. Sakewala ane ada dikenehne,
tuah wirasa kengin pisan nawangin, apake ane mamunyi ento? Ia lantas buin
maekin tongos munyine ento .
“Gedebug
…. Gredeg….. Gredeg…..”
“Gedebug
…. Gredeg….. Gredeg…..”
I
Serigala ngalih tongos mengkeb di durin batune ane gede. Mare Ia madengokan, Ia
lantas kedek ngerekek, ane tepukina tuah kendange ane kagebug baan carang
kayune ane gede tur magalayutan kaampehang angin. Lantas di samping kendange ento
tepukina ditu ada amah-amahan. Ia girang pisan lantas Ia ngamah kanti basangne
betek.
Selasa, 04 Juni 2013
DEWATANISASI INSANI
DEWATANISASI
insani : pemaknaan pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan hindu
KADEK SUMITRA DWI WAHYUNI
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH BALI
STKIP “AH” SINGARAJA
Abstrak : Kajian pustaka
menunjukkan, bahwa hakikat pendidikan dalam perspektif Filsafat Pen-didikan Hindu adalah
mendewatakan manusia atau dewatanisasi insani guna mewujudkan divine human (daiwisampat)
yang sekaligus berarti mencegah kemunculan insan berkarakter keraksasaan (demonic human, asurisampat). Agama
Hindu kaya akan resep-resep divine human. Dewatanisasi menuntut
penamanan resep-resep divine human di dalam pikiran dan kecerdasan
manusia. Manusia berkarakter kedewataan
ditandai oleh pikiran, ucapan dan tindakan yang taat pada resep-resep divine
human yang bersumberkan pada agama dan tata aturan lainnya yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Abstract : Literary study shows that education essence in perspective of Hindu
education philosophy is to deify human or human divinisation in order to
realize the divine human (daiwisampat) and
also to prevent the appearance of
demonic human character (asurisampat). Hindu is rich in divine human recipes.
Divinisation demands the divine human recipes investment in mind and in human
intelligence. Divine human is marked by intelligence, utterance and action that
obey to divine human recipes sourced of religion and other rules that is used
in society life.
Kata kunci: pendidikan, divine human, pikiran, ucapan dan tindakan
K
|
ajian Atmadja
(2008) terhadap berbagai karya tulis tentang filsafat ada banyak pengertian
tentang filsafat. Namun di balik
keragaman pemaknaan ini gagasan Keraf dan Dua (2001: 34) menarik dikemukakan
yang menyatakan, bahwa “... Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan
sebagai tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan dan bukan penyataan.” Gagasan
ini memberikan petunjuk, bahwa filsafat pada hakikatnya adalah bertanya dan
terus bertanya guna mendapatkan jawaban yang mendalam (sedalam-dalamnya), luas (seluas-luas-nya) dan holistik (seholistik-holistiknya) mengenai suatu realitas, ide
atau konsep yang bersifat fun-damental (Atmadja, 2010; Woodhouse,
2000). Berkenaan dengan itu maka (ber-)
filsafat berarti “... proses bertanya dan menjawab dan bertanya dan menjawab
terus tanpa henti. Itulah filsafat sebuah quest, sebuah pencarian,
sebuah question tentang berbagai ide” (Keraf dan Dua, 2001: 16).
Apa pun bisa dipertanyakan secara filosofis, termasuk di dalamnya tentang
pendidikan sehingga melahirkan bidang kajian, yakni filsafat pendidikan
(Knight. 2007; Jalaluddin dan Idi, 2007; Djum-ransjah, 2006;
Alwasillah, 2008; Surakhmad, 2009;
Fudyatanta, 2006). Kebanyakan buku teks filsafat pendidikan memuat gagasan
teoritikus Barat. Hal ini dapat dicermati pada buku teks filsafat pendidikan
yang ditulis oleh Djumransjah (2006: 26) yang mengutip pendapat Freeman Butt
tentang hakikat pendidikan sebagai berikut.
a. Pendidikan
adalah kegiatan menerima dan memberikan pengetahuan sehingga kebu-dayaan dapat
diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.
b. Pendidikan
adalah suatu proses. Melalui proses ini, individu diajarkan kesetiaan dan
kesediaan untuk mengikuti aturan. Melalui cara ini pikiran manusia dilatih dan
dikem-bangkan.
c. Pendidikan
adalah proses pertumbuhan. Dalam proses ini individu dibantu mengem-bangkan kekuatan,
bakat, kesanggupan, dan minatnya.
d. Pendidikan
adalah rekonstruksi dan reorga-nisasi pengalaman yang menambah arti serta kesanggupan
untuk memberi arah bagi pengalaman selanjutnya.
e. Pendidikan
adalah proses. Melalui proses ini, seseorang penyesuaikan diri dengan unsur-unsur
pengalamannya yang menjadi ke-pribadian kehidupan modern sehingga dalam mempersiapkan
diri bagi kehidupan masa dewasa yang berhasil (Freeman Butt dalam Djumransjah,
2006: 26).
Pola ini tampak pula pada buku teks
filsafat pendidikan yang ditulis Saduloh (2003) yang mengutip makna pendidikan menurut Hooge-veld, Henderson, Hummel,
Langeveld, dll. Jikalau pun ada buku teks filsafat pendidikan yang menyinggung
tentang filsafat Hindu se-bagaimana yang dilakukan oleh Jalaluddin dan Idi (2007) hanya
bersifat selintas.
Pemakaian gagasan
Barat dalam memaknai pendidikan tidaklah
salah, mengingat ilmu ber-dimensi sosial, dalam arti, dia adalah milik publik sehingga
seseorang bisa meminjamnya, asalkan mengikuti etika ilmiah. Walaupun pe-minjaman gagasan Barat sah
adanya, namun usaha untuk memunculkan gagasan lain yang bercorak gagasan
non-Barat sangat penting. Hal ini berkaitan dengan munculnya evolusi pemikiran
manusia, yakni mulai dari pemikiran kosmosentris, berlanjut ke teosentris,
antropo-sentris,
lalu sampai kepada logosentris. Pemi-kiran logosentris merupakan
karakteristik pemi-kiran filsafat postmodern. Filsafat postmodern sangat disukai
oleh kelompok ilmuwan Kajian Budaya (Cultural Studies) (Ritzer, 2003;
Alwa-silah,
2008; Barker, 2004; Jones, 2009; Sugiar-hato, 1996). Ciri filsafat ini antara
lain tidak tunduk kepada narasi-narasi besar – pada umum-nya teori-teori dari dunia
Barat, melainkan men-coba menggali narasi-narasi kecil – gagasan-gagasan lokal
termasuk di dalamnya berbagai kearifan lokal di dunia Timur. Pencarian ini,
tidak hanya untuk memperkaya teori-teori yang sudah ada, tetapi yang lebih
penting adalah untuk melakukan resistensi atau bahkan pembongkaran terhadap
teori-teori yang telah mapan.
Bertolak dari
gagasan filsafat postmodern maka kajian terhadap pemikiran dunia Timur yang
bersumberkan dari ajaran agama dan kearifan lokal, tidak saja penting, tetapi
juga sangat mendesak guna mengimbangi kuatnya hegemoni pemikiran Barat. Dalam
konteks inilah dicoba untuk mengkaji
tentang pendidikan dengan menggunakan pendekatan filsafat pendidikan. Manurut
Alwasillah (2008), Surakhmad (2009), Knight (2007) dan Jalaluddin dan Idi
(2007) filsafat pendidikan mengkaji pendidikan secara filosofis antara lain
memper-tanyakan
tentang “Apa itu pendidikan? Dalam rangka menjawab pertanyaan ini dilakukan
studi kepustakaan terhadap berbagai buku teks tentang Agama Hindu antara lain
ditulis oleh Titib (1996, 2003), Sivananda (2005, 2006), Tapasyananda (2008),
Singh, 2004, 2007), Anandamurti (2008), Pandit (2005), Pendit (2005, 2007),
Zimmer (2003), Machwe (2000), Saraswati (2009), dll.
Kajian terhadap
buku-buku teks filsafat pendidikan dan buku teks yang memuat teori-teori sosial
budaya tidak bisa diabaikan, baik sebagai perbandingan maupun pengayaan wa-wasan teoretik. Ungkapan-ungkapan
kebahasaan tentang pendidikan pada buku teks tersebut dicari makna denotatif
dan konotatif sehingga pema-haman atas masalah yang dikaji bisa lebih tuntas (Barthers, 2007; Culler, 2003; Hoed, 2008; Ricoeur, 2002, 2006).
Kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan dari cara-cara berpikir kefilsafatan,
yakni kesadaran diri, kemenyeluruhan, penem-busan, dan fleksibilitas (Knight,
2007: 9-11). Dengan cara ini diharapkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
dalam, luas, dan holistik ten-tang hakikat pendidikan menurut Agama Hindu yang berlanjut
pada kemanfaatannya, yakni menambah narasi alternatif tentang pendidikan
sehingga hegemoni pemikiran Barat tertandingi, baik pada tataran kognisi maupun
praksis pendidikan.
PEMBAHASAN
Tuhan yang diberikan
label Maha Tahu dan Maha Pencipta, selain menciptakan manusia dan alam semesta, Tuhan memberikan pula agama wahyu. Agama Hindu
sebagai agama wahyu, terkodifikasi dalam
bentuk kitab suci Veda. Veda disertai
dengan aneka teks tafsir, seperti kitab
Brahmana, Upanisad, Wiracarita, dan lain-lain
sehingga melahirkan seperangkat ajaran agama yang bersifat kontekstual
(Mittal, 2006; Prabhavananda, 2006; Saraswati, 2009; Pandit, 2005). Agama Hindu
sangat kaya akan ide-ide filsafat, tidak saja tercermin pada ajarannya, te-tapi juga pada munculnya
aneka aliran filsafat dalam Agama Hindu (Pendit, 2007). Berkenaan dengan itu
tidak mengherankan jika filsafat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Agama
Hindu.
Walaupun kaya akan filsafat, namun Agama Hindu tidak
mengenal istilah filsafat, melainkan memakai istilah darshana. Istilah darshana
di-samakan dengan
filsafat. Kata darshana berarti melihat atau mengalami. Pemaknaan
seperti ini memberikan petunjuk, bahwa
filsafat dalam konteks Agama Hindu, tidak hanya merupakan spekulasi
metafisika, tetapi didasari pula oleh data langsung. Pengalaman langsung adalah
sumber darimana pikiran India mengalir, dan ini diterima sebagai dasar filsafat
di India (Prabhavanda, 2006). Gagasan ini menarik, karena menunjukkan kesamaan
dengan gagasan Alfred North Whiteheid (dalam Bria, 2008: 23) tentang filsafat
yang dianggap memiliki dua wajah sekaligus, yakni rasional dan empiris. Hu-bungan antara
keduanya bersifat dinamis, saling menguji, menjelaskan, menjustifikasi, bahkan
memfalsifikasi. Kata kuncinya adalah kesesuaian antara kerangka dan materinya.
Hal ini harus di-usahakan
oleh filsafat, sehingga darshana
tidak hanya memuat pemikiran spekulasi metafisika, tetapi memuat pula
pengalaman atau meminjam ide Immanuel Kant memadukan antara rasio-nalisme dan
empirisme (Atmadja, 2010; Tjah-jadi, 2007).
Walaupun filsafat Hindu sangat menghargai olah
pikiran dan pengalaman, namun ada aspek penting yang membedakannya, yakni
penghar-gaan
terhadap intuisi (Sivananda, 2006).
Gejala ini berkaitan dengan hakikat manusia, yakni memiliki kesadaran
supra yang memberikannya kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan secara
intuitif yang di dalamnya mencakup olah rasa dan olah batin (Singh, 2005, 2004;
Acarya, 1991). Jadi, dalam rangka mendapatkan pengetahuan, filsafat Hindu tidak
hanya ber-muatan
olah pikiran (rasionalisme) dan olah pengalaman (empirisme) atau memadukan wa-dah rasional dan
empiris sebagaimana yang lazim berlaku pada filsafat Barat, melainkan meminjam
gagasan Knight (2007) memper-hatikan pula intusi yang di dalamnya mencakup kesadaran
supra, olah rasa dan olah batin. Na-mun di balik pencarian kebenaran secara falsafati
maka peran Agama Hindu sebagai sumber
kebe-naran
tidak bisa diabaikan. Agama Hindu adalah kebenaran yang berdimensi kewahyuan
sehingga kualitasnya bersifat absolut dan tak tercampuri (murni).
Teks suci Veda dan tafsirnya, tidak saja memuat
tentang tata kelakuan keagamaan, tetapi memuat pula aneka tata kelakuan sosial.
antara lain tentang pendidikan. Cakupannya sangat luas dan kompleks sehingga
bisa menjawab perma-salahan
pendidikan yang lazim dipertanyakan dalam filsafat pendidikan. Bertolak dari
kenya-taan ini
tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa Agama Hindu mengenal filsafat pendidikan
atau secara lebih spesifik bisa disebut Filsafat Pendidikan Hindu. Adapun gagasan
Filsafat Pendidikan Hindu tentang hakikat pendidikan (Apa itu pendidikan?)
adalah sebagai berikut.
Pendidikan adalah dewatanisasi
insani
Manusia adalah makhluk pendidikan (homo educadum),
sebab berkemampuan mendidik dan dididik (Suhartono, 2006). Begitu pula kelang-sungan hidup
manusia baik sebagai sistem organisme maupun kepribadiannya, dan sistem sosial
bentukannya, bergantung pada pendidikan (Parsons, 195; Much, 2008). Realitas
ini disadari oleh Agama Hindu, terbukti dari kenyataan, bahwa Agama Hindu
banyak mengkaji masalah pendidikan. Hal ini telah berlangsung sejak awal,
terlihat pada ungkapan-ungkapan teks kuno se-bagai berikut.
(1) Sa vidya
ya vimuktaye
(Pembelajaran
adalah yang membebaskan manusia)
(2) Vidya
tritiyo netrah
(Pembelajaran
seperti mata ketiga)
(3) Vidyayamrihtamashnute
(Pembelajaran
membuat manusia abadi)
(4) Na hi
jnanen sadrisnham pavitramih vidyate
(Tidak
ada yang lebih murni di dunia ini daripada pengetahuan)
(5) Vidya
balam chandrabalamstathaiva
(Mudah-mudahan
kekuatan pengetahuan dan kekuatan bulan menganugrahi kamu sekalian)
(6) Vidya
gurunam guruh
(Pengetahuan
merupakan gurunya guru)
(7) Kim kim
na sadhyati Kalpalateva vidya
(Apa
yang tidak dijumpai oleh pembe-lajaran itu? Ia merupakan sebuah tum-buhan magis atau
pohon kebijaksanaan)
(8) Vidya
vihinah pashuh
(Seseorang yang
tanpa pembelajaran ada-lah
binatang) (Machwe, 2000: 162-163).
Ungkapan-ungkapan
ini menunjukkan bah-wa Agama Hindu sangat menghargai pentingnya pengetahuan bagi
kehidupan manusia. Gagasan ini sangat tepat, terbukti dari adanya kenyataan,
bahwa pada era postmodern atau pascakapitalis saat ini, sumber ekonomi dasar
tidak lagi alat-alat produksi, modal, daya alam, dan tenaga kerja, melainkan
pengetahuan (Drucker, 1997). Begitu pula keunggulan negara negara-negara
kapitalis global tidak bisa dilepaskan dari ke-mahakayaan modal (ilmu) pengetahuan
yang di-aktualisasikan
dalam berbagai produk teknologi canggih.
Perolehan pengetahuan didapat melalui pembelajaran. Kemampuan belajar
merupakan aspek penting bagi eksistensi manusia, tidak hanya karena belajar
adalah pintu gerbang bagi pengetahuan, tetapi juga karena kemampuan belajar adalah aspek penting yang
membedakan manusia daripada binatang – perilaku binatang terprogram secara
naluriah.
Namun manusia
tidak saja mengenal pembelajaran – aktivitas yang lebih menekankan pada
pemupukan kognisi, tetapi mengenal pula pendidikan – aktivitas pembentukan
watak atau karakter insani (Knight, 2007). Agama Hindu menyebut pendidikan
dengan istilah aguron-aguron atau asewakadharma. Pendidikan bisa dilakukan di sekolah
atau pada zaman Veda disebut sakha
atau patasala. Pada masyarakat Bali mengenal istilah asrama, pasraman
atau katyagan (Titib, 2003; Prabhavananda, 2006). Apa pun nama
lembaga pendidikan, baik asrama maupun sekolah, pasti memiliki tujuan –
hakikat manusia sebagai makhluk teleologis. Dengan mengacu kepada Suhartono
(2006: 80) tujuan pendidikan adalah “... pendewasaan, pencerdasan,
dan pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal
perkembangan jiwa, dan matang dalam hal berperilaku”.
Gagasan Suhartono
(2006) menarik dicermati, mengingat bahwa kata pendewasaan yang sebagai salah
satu dimensi tujuan pendidikan merupakan turunan dari kata dalam Bahasa Sanskerta, yakni dewasa (dewa
dan sya yang berarti memiliki sifat sebagai dewa). Titib (2003)
menjelaskan makna kata dewasa sebagai berikut.
Bila kita kaji
tentang makna pendidikan mengandung arti mengantarkan seorang anak menuju ke
tingkat dewasa atau kedewasaan .... maka kata dewasa ini dapat dikaji maknanya
dengan kata dewa atau devata, dimaksudkan seorang itu dalam perilakunya sudah
memiliki sifat-sifat kedewataan (Daiwisampat), karena kata dewasa (dewasya)
berasal dari kosa kata bahasa Sansekerta, yang artinya memiliki sifat dewa,
juga berarti yang bercahaya, tentu diharapkan perilaku anak mengikuti ajaran ketuhanan atau memancarkan
nilai-nilai ketuhanan, tidak sebaliknya dikuasai oleh sifat-sifat keraksasaan (Asurisampat)
(Titib, 2003: 4).
Dengan demikian,
dilihat dari makna kata dewasa, maka tujuan pendidikan bukanlah men-jadikan peserta didik agar
dewasa dalam arti perkembangan badaniah
seperti dikemukakan Suhartono (2006), tetapi lebih mengarah kepada menjadikan insan berkarakter kedewataan (dai-wisampat) atau divine human
yang sekaligus berarti mencegah kehadiran manusia berkarakter keraksasaan (asurisampat)
atau demonic human. Dengan meminjam pendapat Surakhmad (2009) gagasan
ini jelas bernuansa filosofis, sebab
kandungannya tidak sekedar memenuhi hasrat ingin tahu tentang hakikat
pendidikan, tetapi memuat pula cita-cita ideal tentang tujuan pendidikan –
mewujudkan divine human. Pendek kata, dapat disimpulkan, bahwa
pendidikan dalam perspektif Filsafat Pendidikan Hindu pada hakikatnya adalah
proses mendewatakan manu-sia atau dewatanisasi
insani yang sekaligus ber-arti mencegah kemunculan
insan berkarakter raksasa (deraksasani insani). Dengan kata lain bisa pula
dikemukakan, bahwa hakikat pendi-dikan menurut pandangan Filsafat
Pendidikan Hindu memiliki wajah ganda, yakni dewatanisasi insani dan
deraksasanisasi atas manusia (mem-basmi sifat-sifat raksana) sehingga
melahirkan insan ideal, yakni divine human atau daiwi-sampat, bukan manusia berkarakter
raksasa, asurisampati atau demonic human.
Ciri-ciri Divine Human
Pemaknaan
pendidikan sebagai dewata-nisasi insani atau deraksasanisasi insani guna membentuk daiwisampat
atau divine human, bukan manusia asurisampati
atau demonic human, memberikan petunjuk, bahwa Agama Hindu
menggunakan konsep oposisi biner (rwa bhineda) dalam melihat eksistensi
manusia. Ga-gasan
ini berkaitan erat dengan pandangan Agama Hindu tentang hakikat manusia, yakni
secara substansial terdiri dari unsur tubuh, pancaindra, pikiran (manah),
budi (budhi, kecerdasan), dan atman (rokh, spriton, kesa-daran) (Singh, 2004, 2007). Kepemilikan tubuh dan pancaindra
memunculkan hasrat atau kama. Hasrat selalu berkecenderungan untuk
menikmati sesuatu yang menyenangkan. Gagasan ini tidak jauh berbeda daripada
gagasan Aristoteles tentang tujuan hidup manusia, yakni mencari nikmat dan
menghindarkan rasa sakit (Magnis-Suseno, 2010).
Pengaktualisasian hasrat atau kama selalu
dibayangi oleh sattwa guna – tendensi-tendensi benar dan patut dan tamas
guna – tendensi-ten-densi salah dan tidak patut. Bayangan tattwa guna dan tamas
guna tidak bisa dilenyapkan, karena keduanya melekat pada tubuh manusia.
Akibatnya, dalam memenuhi hasrat manusia
se-lalu berpeluang untuk berbuat
baik (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas
guna) (Singh, 2004, 2007; Sudharta, 2001, 2009; Pandit, 2005). Dengan
demikian, secara psiko-genetik manusia adalah makhluk berkarakter ganda, yakni kedewataan dan keraksasaan se-hingga melahirkan divine
human dan demonic human. Manusia selalu berpeluang untuk berbuat
kebajikan (sattwa guna) atau sebaliknya, yakni berbuat kejahatan (tamas
guna) baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Kemana peluang karakter manusia, apakah sattwa
guna (divine human) atau tamas guna (demonic human),
bergantung pada dominasi proporsi masing-masing sebagai satu kesatuan dalam
tubuh manusia (Pendit, 2005).
Kemunculan
perbuatan baik atau buruk dalam memenuhi hasrat, selain karena keme-lekatan sattwa guna
dan tamas guna pada tubuh manusia, bergantung pula pada pengendalian
pikiran (manah) dan kecerdasan (budhi) (Singh, 2004, 2007;
Sudharta, 2001). Pikiran dan kecer-dasan memberikan pertimbangan atas dasar ra-sionalitas dan moralitas atau
akal sehat dan rasa, yakni rasa malu, salah, takut, dan dosa (Atmadja, 2010).
Tubuh dan pancaindra sebagai sumber hasrat – manusia pabrik hasrat, selalu
menuntut kenikmatan optimal. Akibatnya, terjadi Brata-yuddha yang ajeg dalam tubuh manusia, yakni perang antara partai Korawa, simbol
tubuh, pancaindra dan hasrat berlandaskan tamas guna, dan partai
Pandawa, simbol tubuh, pancaindra, dan hasrat yang dikendalikan oleh manah
dan budhi berlandaskan sattwa guna. Jika Korawais-me (Duryadanaisme), tubuh,
pancaindra, dan hasrat mengalahkan Pandawaisme manah, budhi
dan sattwa guna. Maka muncul tindakan manu-sia bersifat tamas guna atau
keraksasaan. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yakni Pandawaisme
(Yudistiraisme), manah dan budhi mampu me-ngendalikan Korawaisme tubuh,
pancaindria has-rat, dan tamas guna maka muncullah tindakan sattwa
guna atau kedewataan.
Gagasan ini menimbulkan
implikasi, bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi insani secara ideal diarahkan
kepada pembentukkan manusia berkarakter ideal, yakni: pertama, mampu
mengendalikan dominasi dan hegemoni tubuh, pancaindra dan hasrat atas manah (pikiran) dan budhi
(kecerdasan). Atau sebaliknya, menjadikan manah dan budhi sebagai
kekuatan dominatif dan hegemonik atas tubuh, pencaindra, dan has-rat. Kedua, sattwa
guna mengendalikan tamas guna. Ketiga, pengikut setia partai
Pandawa (Pandawaisme, Yudistiraisme) dan mengabaikan partai Korawa (Korawaisme,
Duyadanaisme). Keempat, karakter kedewataan mengendalikan karakter
keraksasaan atau divine human mengen-dalikan demonic human.
Walaupun berpihak pada daya manah dan budhi, sattwa guna,
Pan-dawaisme
atau divine human, namun tidak berarti, bahwa daya tubuh, panca-indra, hasrat, tamas guna,
Kowaisme atau demonic human, karena secara substansial tidak bisa
dilenyapkan, bahkan harus ada dalam konteks kehidupan manusia.
Unsur-unsur ini tidak bisa dinolkan, tidak saja karena sattwa guna
dan tamas guna melekat secara psikogenetik dalam tubuh manusia, tetapi
juga karena sesuai dengan hukum rwa bhineda, yakni pemilahan atas dua
hal berbeda secara berlawanan dalam konteks dialektika kebermak-naan. Misalnya, kebaikan,
kebajikan atau dha-rma tidak bisa lepas dari kejahatan,
keburukan atau adharma. Mahabrata memberikan peng-gambaran tepat tentang hal ini,
yakni partai Korawa memang kumpulan
orang-orang jahat, namun ada pula titik kebaikannya, misalnya kehadran tokoh
Bisma. Pandawa memang kum-pulan orang-orang baik, namun ada celanya. “Bukankah mereka suka berjudi?’ Begitu pula
pascabratayudha, karena Kowara mati secara total, maka Pandawa sebagai simbol
kebajikan juga mati satu persatu. “Mengapa Pandawa mati?” Sebab, keberadaan
Pandawa sebagai sim-bol kebajikan tidak bermakna lagi, karena tidak ada keburukan
(Atmadja, 1984). Gagasan seperti ini bisa pula dicermati pada teodise
Agustinian yang menyatakan, bahwa “... Kejahatan secara aksidental disebabkan
oleh kebaikan; atau keja-hatan adalah ‘ketiadaan kebaikan’ (privatio boni)
(Bria, 2008: 52). “Bukankah kebaikan pun dapat muncul dari pengalaman akan
keburukan, a blessing in disguise?” (Bria, 2008: 82).
Dengan demikian,
walaupun Agama Hindu menganut azas oposisi biner, namun meminjam Gunawan (2010), berbeda daripada ide
Aristo-teles
yang menganut azas bivalensi yang memuat pemilahan atas dua bagian, di mana
manusia ha-rus
memilih “ini” atau “itu. Ibarat sebuah
film coboy, pelaku lakonnya terbagi dua, yakni “orang baik” dan “orang
jahat”. Sebaliknya, Agama Hindu, begitu pula Agama Buddha menganut azas oposisi
biner bukan bivalensi, melainkan multivalensi yang terkait dengan Logika Samar
atau Fuzzy Logic. Multivalensi dalam Logika Samar mencoba melihat
nuansa-nuansa dalam menangkap kebenaran. Ada “orang baik tetapi ada cacatnya”
dan “orang jahat tetapi ada segi baiknya. Tak ada manusia yang sem-purna, tetapi selalu ada
cacatnya. Kondisi bivalensi dalam logika samar menyatu dengan sang diri
mengikuti rentangan waktu atau sang kala, sehingga tidak mengherankan
jika bukan pada hari ini, maka sepanjang hidupnya, baik di masa lalu maupun di
masa yang akan datang manusia selalu berpeluang untuk berbuat tidak baik
(salah) atau sebaliknya berbuat kebajikan.
Berkenaan dengan
itu maka dewatanisasi insani sebagai proses dan tujuan pendidikan, arahnya
bukan melenyapkan daya tubuh, panca-indra, hasrat, tamas guna,
Korawaisme atau demonic human secara total, melainkan mengen-dalikannya agar melahirkan
manusia yang berpihak pada daya manah, budhi, sattwa guna,
Pandawaisme atau divine human. Dalam konteks inilah maka pendidikan
sebagai dewatanisasi insani harus menanamkan berbagai indikator tindakan yang
mencerminkan divine human. Kajian terhadap berbagai teks Agama Hindu,
yakni Veda (Titib, 1996; Bose, 2000; Saraswati, 2009; Mittal, 2006) dan
berbagai teks tafsirnya, terlihat misalnya pada karya Tapasyananda (2008),
Pandit (2005), Sudharta (2007, 2009), Sivananda (2005), dan lain-lain, dapat
diketahui, bahwa banyak tata kelakuan atau resep bertindak yang semestinya
ditanamkan guna mewujudkan divine human. Misalnya, (1) bhakti kepada Tu-han; (2) ahimsa
(nirkekerasan); (3) cinta kasih (Tuhan adalah cinta kasih dan cinta kasih
adalah Tuhan; (4) tidak sombong; (5) sabar; (6) derma-wan atau murah hati; (7) tidak
egois; (8) memi-liki rasa syukur; (9)
memiliki rasa terimakasih; (10) mampu mengendalikan pikiran, kemarahan,
keinginan (indria) dan diri sendiri; (11) meng-anggap setiap manusia sama
derajatnya; (12) membuang kebencian dan
kekejian; (13) hidup sederhana secara berkemaknaan; (14) melakukan kebaikan
termasuk di dalamnya rela berkorban untuk kesejahteraan orang lain; (15) mem-berikan pengampunan; dan (16) percaya pada diri
sendiri, dll. Pendek kata, Agama Hindu menye-diakan tata kelakuan atau resep bertindak
yang amat kaya guna mewujudkan divine human melalui dewatanisasi insani.
Secara umum hal ini bisa disebut resep divine
human atau resep daiwisampat.
Orang Hindu tidak
saja sebagai orang yang memiliki Agama Hindu, tetapi juga sebagai warga negara
dan masyarakat. Negara dan mas-yarakat memiliki tata aturan, yakni dharma negara.
Sedangkan Agama Hindu disebut dhar-ma negara. Orang Hindu sebagai warga masya-rakat dan negara merupakan
pula warga masyarakat dunia. Apalagi pada era globalisasi secara disadari
maupun tidak, manusia berada pada lingkungan kampung global (Atmadja, 2010).
Kondisi ini menimbulkan implikasi, bahwa pendidikan sebagai dewatanisasi dalam
konteks mewujudkan divine human,
tidak cukup hanya menginternalisasikan ajaran Agama Hindu (dharma
agama), melainkan wajib pula meng-internalisasikan tata aturan
masyarakat dan negara atau dharma negara dalam skala nasional dan global
agar interaksi sosial antarwarga dalam lingkup negara dan atau antarnegara
berjalan secara berkedamaian.
Namun apa pun
bentuk resep divine human, maka penanamannya dilakukan pada pikiran manusia. Gagasan ini
berkaitan dengan filsafat Vedanta dan Katha Upanisad tentang hakikat
manusia yang terdiri dari tubuh dan roh (atman). Tubuh dapat diibaratkan
dengan kereta. Rokh adalah penumpang kereta. Kecerdasan adalah kusirnya. Pikiran
adalah tali kendali, dan panca-indria adalah kuda-kudanya (lima ekor kuda pe-nanda lima alat indria). Jiwa
adalah penikmat atau penderita, tergantung pada pikiran dan indria-indrianya
(Singh, 2004, 2007). Gagasan ini memberikan petunjuk, bahwa dewatanisasi insani
pada dasarnya adalah menanamkan resep-resep divine human di dalam
pikiran manusia. Aneka resep divine human ini tidak sekedar disimpan
dalam pikiran – berfungsi sebagai peta kognisi, tetapi sekaligus juga
mengendalikan pikiran (aspek evaluatif). Gagasan ini sangat penting mengingat
pendapat Sivananda (2005) sebagai berikut.
Ketika anda sudah
berhasil mengendalikan pikiran, maka anda akan memiliki kendali atas tubuh
anda. Tubuh hanyalah bayangan dari pikiran. Ia hanyalah konstruksi yang dibuat
oleh pikiran untuk mengekspresikan dirinya. Tubuh akan menjadi budak anda
ketika anda sudah berhasil menaklukkan pikiran (Siva-nanda, 2005: 28).
Sebagaimana
terlihat pada perumpamaan di atas, yakni pikiran adalah tali kendali kuda (pan-caindria) yang menarik kereta
(tubuh), dan kusir (kecerdasan) adalah pemegang tali kendali, maka
implikasinya, sejauh mana pikiran mampu mengendalikan tubuh dan pancaindria, bergan-tung pula pada kusir (kecerdasan).
Berkenaan dengan itu maka pendidikan sebagai dewata-nisasi insani tidak cukup
hanya menanamkan resep-resep divine human dalam pikiran, melain-kan membutuhkan pula
peningkatkan kecer-dasan. Dalam konteks inilah teori-teori kecer-dasan, yang mencakup
kecerdasan emosional, intelektual, spiritual, dan sosial (Efendi, 2005) tidak
bisa diabaikan guna mewujudkan divine human. Pencermatan terhadap
resep-resep divine human seperti dikemukakan di atas – hanya contoh
kecil tentu bisa digali lebih dalam lagi pada teks Agama Hindu, bisa berfungsi
ganda, yakni menambah daya pikir dan kecerdasan. Agama Hindu amat kaya akan
resep dinine human tidak kalah pentingnya daripada agama yang lain
maupun teori-teori sosial budaya.
Aneka resep divine
human yang ditanam-kan, baik dalam pikiran
maupun pembentukkan kecerdasan, kebermaknaannya terlihat dalam perubahan pada
peta kognisi yang berlajut ke praksis berbentuk tindakan dan ucapan bercorak divine
human. Divine human tidak saja menuntut perubahan pada pikiran –
kaya aspek kogintif dan evaluatif, melainkan menuntut pula kon-sistensi pada ucapan dan
tindakan atau Tri Kaya Parisudha -
pikiran (manacika), ucapan (wa-cika) dan (kayika) membentuk suatu
kesatuan. Namun kunci utamanya, tetapi
terletak pada pi-kiran, karena pikiran sebagai gudang ide ber-wujud aspek kognisi dan
evaluatif adalah rajendra, yakni
raja yang berkuasa mengen-dalikan alat indra, tubuh dan hasrat.
Jika manusia berhasil mengendalikan pikiran dengan meng-gunakan idea yang ada di
dalam pikirannya, baik sebagai peta kognisi maupun aspek evaluatif yang
berlanjut pada penguasaan atas alat
indria, tubuh dan hasrat, maka peluang bagi kemunculan divine human sangat
besar. Berkenaan dengan itu maka gagasan Finger dan Asun (2004) bahwa
pendidikan adalah perubahan pikir sebagai iden-tik dengan proses pengembangan dewasa
– ber-makna
memiliki karakter dewa, sama dengan gagasan Filsafat Pendidikan Hindu tentang
pen-didikan
sebagai dewatanisasi insani – proses menjadikan manusia sebagai makhluk berka-rakter dewa atau
deraksasanisasi insani – proses menjadikan manusia agar menanggalkan karakter
keraksasaan.
Gagasan Agama
Hindu tentang kema-nunggalan tubuh dengan
sattwa gana dan tamas guna, begitu pula manusia adalah pabrik
hasrat dan pikiran acap kali gagal mengendalikannya, bahkan hasrat (tubuh,
pancaindria) menguasai pikiran sehingga peluang manusia untuk berbuat buruk
selalu terbuka. Gagasan ini menimbulkan implikasi, bahwa pendidikan sebagai
proses mendewasakan (dewasanisasi) atau mendewa-takan manusia (dewatanisasi) tidak
berhenti ha-nya pada
saat manusia mencapai taraf kedewa-saan biologis, melainkan berlangsung sepanjang hayat. Selain
keewasaan secara biologis, manusia menuntut pula kendewasaan secara sosiobudaya
yang berlangsung sepanjang hayat. Usaha mewu-judkan kedewasaan secara sosiobudaya
tidak mudah, baik karena faktor psikogenetik – manu-sia memiliki tubuh,
pancaindria, hasrat, dan tamas guna maupun karena pengaruh lingkungan
sehingga sepanjang perjalanan hidupnya, ma-nusia selalu berpeluang untuk berbuat kejahatan. Berkenaan dengan itu
maka gagasan UNESCO bahwa manusia harus melaksanakan pendidikan permanen,
yakni menciptakan masyarakat di mana
setiap orang belajar tanpa dibatasi oleh waktu, sangatlah tepat. Perubahan
sosial dan budaya mengharuskan manusia, baik yang belum dewasa maupun yang
sudah dewasa untuk secara terus-menerus mendewasakan pikirannya (Finger dan
Asun, 2004). Gagasan ini sangat cocok dengan Filsafat Pendidikan Hindu yang
melihat, bahwa manusia adalah multivalensi yang terkait dengan logika samar,
sehingga tidak ada manusia yang murni baik atau sebaliknya, yakni murni jahat.
Berkenaan dengan itu maka dewatanisasi tidak saja menjadi suatu keharusan bagi
manusia, tetapi juga berlangsung sepanjang hayat. Jika dewatanisasi berhenti,
maka hasrat yang menyatu dengan virus tamas guna bisa memunculkan
penyakit, yakni perilaku menyimpang pada sistem sosial – yang paling hebat apa yang oleh Whitehead (dalam Bria, 2008) disebut
kejahatan moral.
PENUTUP
Berdasarkan
paparan di atas dapat disim-pulkan, bahwa Agama Hindu memiliki Filsafat Pendidikan Hindu
yang bersumberkan pada Veda dan teks tafsirnya, dikombinasikan dengan
rasionalisme, empirisme dan intuisi sehingga kebenaran yang didapat juga
bersifat metafisik. Topik-topik yang lazim dikaji dalam filsafat pendidikan ada
di dalam Agama Hindu, di anta-ranya adalah pendidikan. Agama Hindu mengga-riskan, bahwa hakikat adalah
proses untuk mewujudkan manusia berkarakter kedewataan, daiwisampat, divine
human atau Pandawaisme. Sebaliknya, mencegah timbulnya manusia yang berkarakter
keraksasaan, asurisampat, demonic human atau Korawaisme.
Berkenaan dengan itu maka hakikat, proses, dan tujuan pendidikan dalam
perspektif Filsafat Pendidikan Hindu bisa disebut sebagai dewatanisasi insani
atau derak-sasanisasi
insani.
Pencapaian sasaran
dewatanisasi insani dilakukan dengan cara menanamkan resep-resep divine
human di dalam pikiran dan kecerdasan peserta didik. Dalam konteks ini Agama
Hindu memuat ajaran yang rinci tentang resep-resep divine human
sebagaimana terlihat pada kitab suci Veda dan teks-teks tafsinya. Penanaman
resep-resep divine human amat penting, tidak semata-mata berguna bagi
pengendalian pikiran, tetapi berlanjut pula pada penguatan kecerdasan yang
berujung pada pengendalian tubuh dan pancaindria. Jika pikiran dan kecerdasan
kaya akan resep-resep divine human, maka tubuh dan pancaindria akan
terkendalikan sehingga tercapai human divine, tidak saja dalam pikiran,
tetapi juga pada ucapan dan tindakan. Manusia secara psikogenetik dan sosiobudaya selalu berpeluang
untuk berbuat jahat. Karena itu, dewatanisasi harus berlangsung sepanjang hayat
dikandung badan.
DAFTAR RUJUKAN
Alwasilah, A.C.
2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Anandamurti,
S.S. 2008. Pengetahuan Spritual di dalam Kitab Weda. (A’C Vibhakarananda
Avt Pener-jemah). Denpasar: Ananda Marga Indonesia.
Atmadja, N.B. Wiracarita
Ajaran Agama Hindu. Singaraja: Akademi Pendidikan Agama Hindu Singaraja.
Atmadja, N.B.
2008. Buku Ajar Filsafat Ilmu Pengetahuan Jilid I. Singaraja: Program
Pasca-sarjana Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha).
Atmadja, N.B.
2010. Ajeg Bali Pergerakan, Identitas Kultural dan Globalisasi.
Yogyakarta: KLiS.
Barker, C.
2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (Nurhadi Penerjemah).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthers, R.
2007. Petualangan Semiologi. (S.A Herwinarto Penerjemah). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bria, E. 2008. Jika
Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan Percikan Filsafat Whitehead. Yogyakarta:
Kanisius.
Bose, A.C.
2000. Panggilan Veda. (I Wayan Maswinara
Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Culler, J.
2003. Barthers. (Ruslani Penerjemah). Yogya-karta: Jendela.
Djumransjah.
H.M. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Banyumedia Publishing.
Drucker, P.F.
1997. Masyarakat Pasca Kapitalis. (Tom Gunadi Penerjemah). Bandung:
Angkasa.
Efendi, A.
2003. Revolusi Kecerdasan Abad 21 Kritik MI, EI, SQ dan Successful
Inteligence atas IQ. Bandung: Alfabeta.
Finger, M. dan
J.M. Asun. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa. (Nining Patikasari
Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Kendi.
Fudyatanta, Ki.
2006. Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidikan Pancasila Wawasan
Secara Sistematik. Yogyakarta: Amus.
Gunawan M. I.
2010. “Aristoteles dan Buddha”. Harian Kompas, Selasa, 29 Juni 2010.
Halaman 6.
Hoed, B.H.
2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Bu-daya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Ba-hasa, UI Depok.
Keraf, A.S. dan
M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Se-buah Tinjauan
Filosofis. Yogyakarta:
Kanisius.
Knight, G.R.
2007. Filsafat Pendidikan. (Mahmud Arif Penerjemah). Yogyakarta: Gama
Media.
Jalaluddin, H.
dan A. Idi. 2001. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Magnis-Suseno,
F. 2009. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisisu.
Pandit, B.
2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya.
(IGA Dewi Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Parsons, T.
1951. The Social System. Glencoe, III: Free Press.
Pendit, N.S.
2005. Vedanta Percik-percik Renungan Swami Vivekananda Permata Warisan
Filsafat dan Etos Kerja Modern. Denpasar: Penerbit Bali Post.
Pendit, N.S.
2007. Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana Enam Aliran Astika (Ortodok).
Denpasar: Bali Post.
Prabhananda, S.
2006. Agama Veda dan Filsafat. (I Nyoman Ananda Penerjemah). Surabaya:
Paramita.
Machwe, P.
2000. Kontribusi Hindu terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. (Ida
Bagus Putu Suamba Penerjemah). Denpasar: Widya Dharma.
Mittal, M.
2006. Pesan Tuhan untuk Kesejahteraan Umat Manusia Intisari Veda. (I
Wayan Punia Penerjemah). Jakarta: Paramita.
Much, R. 2008.
“Teori Parsonian Dewasa Ini: Sebuah Pencarian Sintesis Baru”. Dalam A. Giddens
dan J. Turner ed., Social Theory Today Panduan Sistematis Tradisi dan
Tren Terdepan Teori Sosial. (Yudi Santoso Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ricoeur, P.
2002. The Interpretation Theory Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi
Ba-hasa. (M. Hery Penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.
Ricouer, P.
2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. (M. Syukri Penerjemah). Yogyakarta:
Kreasi Wavana.
Ritzer, G.
2003. Teori Sosial Postmodern. (M. Taufik Penerjemah). Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Sadullah, U.
2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Saraswati, S.C.
2009. Peta Jalan Veda. (Hira Gindwani dan Ni Putu Anggia Jenny
Penerjemah). Den-pasar: Media Hindu.
Singh, T.D.
2004. Seri Vedanta dan Sains Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya. (Tim
Penerjemah). Bali:Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia.
Singh, T.D.
2007. Kehidupan dan Evolusi Spiritual. (Made Wardhana Penerjemah). Bali:
Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia.
Sivananda, S.S.
2005. Pikiran Misteri dan Penak-lukannya. Surabaya: Paramita.
Sivananda, S.S.
Penebar Ceritra Kebajikan. (I Made Aripta Wibawa Penerjemah). Surabaya:
Para-mita.
Sudharta, T.R.
2000. Sarassamuccaya Smerti Nusantara (Berisi Kamus Jawa Kuno-Indonesia).
Surabaya: Paramita.
Sudharta, T.R.
2001. Ajaran Moral dalam Bhagawad Gita. Surabaya: Paramita.
Suhatono, S.
2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Surakhmad, W.
2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Strategi. Jakarta: Kompas.
Tapasyananda,
S. 2008. Filosofis dan Keagamaan Swami Vivekananda. (IGA Dewi Paramita
Pener-jemah). Surabaya: Paramita.
Tjahjadi,
S.P.L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan dari Descartes sampai Withehead.
Yogyakarta: Kanisius.
Tapasyananda,
S. 2008. Wejangan Filosofis dan Keagamaan Swami Vivekananda. (IGA Dewi
Paramita Penerjemah). Surabaya: Paramita.
Titib, I M.
1996. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Titib, I M.
2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak (Perspektif Agama
Hindu). Bandung: Gabesa Exact.
Woodhouse, M.B.
2000. Berfilsafat sebuah Langkah Awal. (A.N. Permata dan P. H. Hadi
Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius.
Zimmer, H.
2003. Sejarah Filsafat India. (Agung Prihantoro Penerjemah). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Langganan:
Postingan (Atom)