BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Di era globalisasi ini, sering kita melihat bahwa
banyak hal, yang telah mengalami kemajuan baik itu di bidang informasi,
komunikasi, kebudayaan dan bahkan tekhnologi serta berbagai dampak perubahan
dari efek moderenisasian yang menjadikan rasa ketertarikan dan pengaruh besar
bagi semua orang. Akibat masuknya pengaruh tersebut, membuat beberapa budaya
kedaerahan menjadi terakulturasi dibuatnya. Yaitu adanya suatu campuran budaya
yang masuk akibat adanya moderinisasi jaman sekarang.
Khususnya di Bali. Bali merupakan pulau yang terkenal
dengan budaya yang kental dengan system adatnya yang sangat menarik perhatian
bagi semua orang , karena bali itu sendiri berakarkan dari agama hindu yang
memiliki nilai kespiritualan tinggi , sehingga menjadikan pulau bali memiliki
ketertarikan tersendiri. Dilihat dari seni budayanya, kreatifitas para
masyarakat bali, keindahan pulau bali dan yang lebih penting lagi adalah bahasa
bali serta berbagai karya sastra bali , sangatlah perlu dilestarikan
keberadaannya. Sebab bukannya kita terlalu berfikir panatik dengan adanya
pengaruh budaya luar dengan pemodernisasian, tetapi perlu kita memilih dan
memilah secara positif dari pemodernisasian di jaman sekarang ini.
Maka dari itu perlu adanya kiat-kiat serta usaha dari
segenap masyarakat bali untuk senantiasa melestarikan budaya sekaligus apa yang
menjadi ciri khas bali itu sendiri yang dikenal oleh banyak orang sebagai
kebanggaan tanah air yang mempunyai pulau dengan keindahan panorama alam,
kesenian budaya, karya sastra yang luar biasa, dan lain sebagainya. Usaha yang
dilakukan adalah salah satunya, dimulai dengan rasa kesadaran dari
masing-masing masyarakat bali itu sendiri yang sebagai orang bali harus
mempertahankan citra bali sebagai pulau
yang memiliki kebanggaan bagi tanah air kita.
Salah satu yang harus perlu dilestarikan adalah
ditinjau dari bentuk karya sastra bali itu sendiri. Para masyarakat bali dan
sekaligus pemuda bali harus menyadari bahwa keberadaan karya sastra bali
terutama karya sastra bali yang terbentuk dari kesusastraan bali lama atau kuno
tersebut telah mengalami banyak perubahan yang ditinjau dari segi keberadaan,
informasi dan lainnya. Ini disebabkan karena akibat adanya modernisasi yang
masuk.
Disini keberadaan sastra lama masih awam diperkenalkan
oleh kaum sastrawan bali pada pemuda bali dan masyarakat bali itu sendiri.
Disini saya menganalisis sebuah Geguritan SUCITA, dimana geguritan adalah
termasuk jenis karya sastra lama bali yang berupa rangkaian cerita berpengantar
pupuh. Pupuh merupakan bagian dari sekar alit yang sebagai nyanyian bali atau
tembang bali yang menggunakan bahasa kepara digunakan dalam mengungkapkan rasa
jiwa / bhatin dalam diri sesuai dengan keadaan dan cerita yang disampaikan, dan
secara sistematisnya pupuh menggunakan aturan yaitu pada lingsa. Pupuh itupun
mempunyai banyak jenis yaitu pupuh maskumambang, mijil, durma, dangdanggula,
ginada, ginanti, pangkur, pucung, semarandana sinom, dll. Bagi apara generasi
muda hindu di bali yang patut melestarikan keberadaan karya sastra lama bali
yang salah satunya adalah Geguritan ini sangatlah awam, karena terbatasnya
informasi dan keterbenturan dengna budaya modernisasi yang berkembang secara
kompleks. Maka dari itu , disini saya akan memperkenalkan suatu contoh Geguritan
SUCITA I,II, dan III .
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang
disebut dengan Geguritan?
2.
Siapakah
pengarang Geguritan SUCITA I,II dan III ?
3.
Bagaimana Jalan
Cerita Geguritan SUCITA I, II, dan III?
4.
Apa sajakah
pupuh yang digunakan dalam Geguritan SUCITA I, II dan III?
5.
Bagaimana
penokohan dalam Geguritan SUCITA I,II dan III?
6.
Bagaimana pupuh
yang digunakan dalam geguritan tersebut?
1.3
TUJUAN
Adapun tujuan saya menganalisis isi dari geguritan
SUCITA I, II dan III adalah
1.
Menambah
pengetahuan dari geguritan yang dianalisis
2.
Melestarikan
keberadaan geguritan dengan membuat makalah ini
3.
Memberikan
informasi kepada pembaca tentang geguritan sucita
4.
Memperkenalkan
jenis karya sastra lama bali kepada pembaca
5.
Mengapresiasikan
jenis karya sastra lama dengan mengetahui pupuh yang digunakan dalam geguritan
yang dianalisis.
1.4
MANFAAT
Adapun manfaat dari menganalisis isi geguritan SUCITA
I, II dan III adalah
1.
Mengetahui
bagaimana jalan cerita Geguritan yang dianalisis
2.
Mengetahui
bagaimana penokohan dalam Geguritan tersebut
3.
Mengetahui
bagaimana nilai – nilai yang terkandung dalam geguritan tersebut
4.
Mengetahui
susunan pupuh yang digunakan sebagai tembang dalam geguritan
5.
Dapat
diaplikasikan dengan menyalurkannya sebagai bahan informasi kepada khalayak
umum tentang keberadaan sastra bali lama
yang salah satunya yaitu Geguritan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Geguritan
Geguritan merupakan sastra kuno yang memiliki
ciri sastra lama atau klasik yang berifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan
penulis. Ini disebabkan karena pada zamanya dibuat seorang penulis tidak mau
menonjolkan diri dan karyanya dianggap milik bersama.
Kata geguritan dalam kamus
Bali – Indonesia berasal dari kata “gurit artinya gubah, karang, sadur “, dan
dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “geguritan itu berasal dari kata
gurit artinya sajak atau syair”. Sedangkan dalam Kamus Kawi Indonesia
diungkapkan “gurit artinya goresan, dituliskan”.
Ciri yang kental di dalam sebuah geguritan
adalah adanya pupuh-pupuh yang membentuk geguritan tersebut seperti
: pupuh pucung, durma, sinom, pangkur, smarandhana, dandang, ginada, dan
demung. Oleh karenanya di dalam menikmati geguritan dengan
membacanya tidak bisa disamakan dengan membaca karya sastra yang tergolong
prosa.
Geguritan hendaknya dinikmati dengan membaca
sambil melagukan sehingga nikmat yang didapatkan semakin merasuk kalbu. Karya
sastra yang berwujud pupuh diikat oleh aturan yang disebut : pada
lingsa, pada dan carik. “syarat-syarat yang biasa disebut (pada
lingsa) yaitu banyaknya baris dalam tiap bait (pada) banyaknya suku
kata dalam tiap-tiap baris (carik) dan bunyi akhir tiap-tiap baris”
Berdasarkan pandangan di atas maka
pengertian geguritan adalah ciptaan sastra berbentuk syair yang biasanya
dilagukan dengan tembang (pupuh) yang sangat merdu. GEGURITAN, yang merupakan
salah satu bentuk prosa Bali yang terikat perpajakan pupuh, dalam khazanah
sastra tradisional dikategorikan sebagai sekar alit (bunga kecil).
Untuk memahami
alam pikir dan dunia imajinasi manusia Bali, jalan terbaik adalah dengan
membaca karya-karya geguritan, bukan karya-karya kakawin. Di samping karena
bahasanya adalah bahasa pribumi yaitu Bahasa Bali (bukan bahasa import: Jawa
Kuna), yang memungkinkan pengarang Bali berekspresi secara maksimal, geguritan
tampil dengan menyuguhkan berbagai pengalaman bathin manusia Bali dengan
spektrum yang tak terbatas: Rasa lapar, suka-duka, merana cinta, puji-puji,
dongeng-dongeng, kehancuran perang, candu, zinah, kelaliman raja, kebodohan
raja, perselingkuhan, mitrologi, hantu dan berbagai makhluk dari alam lain,
tata ruang dan arsitekstur, masyarakat multikultur, dewa-dewi, ilmu
hitam-putih, etika, tata krama, kecerdasan dan kedunguan, dalil filsafat dan
kenaifan manusia, mantra dan kutukan, petuah-petuah dan umpatan; semuanya bisa
menjadi bahan baku untuk ''adonan'' geguritan. Tak ada satu ''ideologi'' yang
''menghegemoni'' geguritan.
2.2. Jalan Cerita Geguritan Sucita
Ada sebuah cerita. Yang menceritakan sebuah kerajaan yang
sangat agung atau besar dan terkenal. Kerajaan tersebut sangatlah cinta damai
dengan sistem tata peraturan kerajaan yang membuat para rakyat beserta aparatur
kerajaan berjalan sesuai dengan rencana dan tujuan yang diinginkan yang
dilandaskan swadharma sebagai umat yang beragama.
Para rakyat yang ada di kerajaan sangat menghormati tata
peraturan kerajaan (Asta Kosala), selain menjungjung tinggi rasa kekeluargaan
dan melaksanakan titah serta apa yang menjadi peraturan di kerajaan. Kekompakan
akan terselenggaranya sistem kerajaan yang sesuai dengan rencana tujuan yang
diinginkan. Serta bangunan kerajaan yang megah kelihatan asri karena para
rakyat yang menjaga keasrian dan lingkungan kerajaan tersebut.
Disebutkanlah disini Ida Sang Sucita, melaksanakan tapa
brata disaat bulan purnama. Tanpa disadari, tapa Ida Sang Sucita didengar oleh Ida Sang Kalih
, maka bersabdalah beliau “ Ida Sang Sucita,disini aku akan memberikan sebuah
nasihat dengan petuah yang berguna bagimu nanti. Agar kamu bias memilih yang
mana dinamakan Rwa Bineda sesuai dengan tata prilaku dalam menjalani segala
bentuk kehidupan didunia” . seperti itulah Beliau bersabda kepada Sang Sucita.
Setelah melakukan tapa brata sang sucita merasa ingin lebih banyak memperoleh
suatu petuah yang nanti akan berguna bagi dirina. Maka dari itu dia berkelana
mencari apa yang dia inginkan.
Disini, sang sucita mempunyai saudara yang bernama Sang
Subudi. Sang sucita mengajak Sang subudi berkelana untuk mencari sesuatu hal
yang mereka inginkan. Dikisahkan, mereka memasuki tempat pesraman, disana
mereka bertemu dengan Sang Guru yang bernama Ida Rsi Satwika. Disana, Sucita
dan Subudi, memdapat pengayoman dari Mpu Satwika mengenai basa basita (tata
cara berbicara dalam kehidupan ). Beliau berkata kepada sucita dan subudi,
bahwa tujuan datang kemari, ingin mendapatkan petuah yang berguna nanti apabila
sucita sudah beranjak dewasa menjalani kehidupan. Salah satunya adalah pertama,
tidak boleh berbuat tidak iklas terhadap sesama dalam artian harus sesuai
dengan ketulusan dari dalam diri supaya kita bisa berlaku bijaksana dan agar tidak
saling bertolakbelakang untuk mendapatkan sesuatu yang kita harapkan atau
kebaikan itu sendiri yang berlandaskan Tri Kaya
Parisudha (yaitu berpikir yang baik, berkata yang baik, dan berlaksana
yang baik pula). Yang kedua adalah mengenai tingkat Grahastha yaitu tata cara
untuk menyunting seorang istri ketika mau menginjak tahap pendewasaan diri
dengan mengalami masa berumah tangga (Grahastha) dan yang lebih penting
yang harus diutamakan adalah terdapat di
Lontar Cumbana Sasana disana mengatakan bahwa, untuk mengetahui beberapa hal
dalam bagaimana menjalani kehidupan, butuh tiga tahun lamanya untuk
belajar mengenal makna hidup di dunia
ini. Mengenai Tri Kaya Parisudha, tentang cara
berpikir, berkata, dan berlaksana haruslah diperhatikan dengan sadar diri.
Itulah pembekalan yang diberikan Mpu Satwika kepada Sang Sucita dan Sang
Subudi.
Disana sang sucita dan subudi juga mendapatkan
pengetahuan (Widya) mengenai Catur Varga ( empat tujuan hidup manusia yang
saling berkaitan erat satu sama lain) yang bagiannya adalah Dharma, Artha, Kama
dan Moksa. Sejak saat itu sang sucita dan sang subudi merasa tahu dan tambah
pelapan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Disini kemudian diceritakan dalam perjalanan sang sucita dan sang subudi yang sesudah
sampai di ujung kayu,didapatlah tempat persemayaman ida sang yaksa kemudian
didengar oleh gajah warak,yang ikut juga ada disana. Sudah dekat menuju jalan
keluar ,Sang Subudi akhirnya berkata kepada Sang Yaksa,” mengapa kamu berdiam
diri disana? Seperti kamu bertingkah menginginkan sebuah Mantra Sakti” kemudian
sang hyang siwa budi tiba-tiba datang dalam kesepian . kemudian Sang Subudi
menyambut kedatangan beliau dengan senyuman hangat dan berkatalah beliau” duh…
sang yaksa, ini cucu mu datang. Sekarang ingin menyampaikan sebuah pesan dan
baik-baiklah kamu sehingga semua dapat dikendalikan dengan tujuan baik. Agar
tidak kamu melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tata agama susila.
Kama, Artha dan kedudukan itu seharusnya dipergunakan dengan baik , sehingga
nanti dapat menghasilkan suatu ketenangan dalam hidup di dunia. Begitu pula ,
apabila Arta yang didapat harus didapat dan difungsikan dengan dharma itu
sendiri.Purusa dan Pari kosa sangatlah di perhatikan baik-baik
pengrealisasiannya untuk menjalani kehidupan ini. Seperti itulah kasujatiannya.
Kemudian
sang subudi berkata menambah apa yang disampaikan oleh beliau” jika kehidupan
ini seperti apa yang dikatakan olehmu, sangatlah gampang untuk bisa menaklukan
sifat keangkuhan tersebut, untuk menjadikan kepribadian yang utama. Yang
dinamakan Prasaka itu adalah mempunyai pikiran , mempunyai tujuan dan mempunyai
budi / prilaku baik. Itu sebenarnya .”
Sekarang,
diceritakan adanya seorang raksasa yang memiliki prawakan sangat menakutkan yaitu,bersaput
poleng, susunya panjang dan pusarnya menjorok keluar . seperti itulah perawakan
sang raksasa tersebut. Kemudian sang subudi berkata kepada sang yaksa, bahwa
janganlah mengingkari angkara itu . hal itu tidak baik untuk dilakukan,
semoga kamu memperoleh apa yang menjadi
tuntunan hidup menuju dharma.Diceritakan kemudian, sang raksasa mempunyai
seorang istri dan mempuyai anak.
Diceritakan sang sucita bertemu dengan seorang gadis
cantik yang membuat sang sucita merasakan jatuh cinta kepada seorang gadis
tersebut, karena keindahan paras nya. Gadis itu bernama Diah Karuni, putri dari Diah Karmita dan Dukuh Pradnyan.
Sesudah
dia bertemu dengan diah karuni, sang sucita merayu diah karuni, taler sang diah
karuni memiliki saudara yang bernama sang sugata. Diceritakan sang sucita dan diah
karuni saling kasmaran dengan jatuh cinta dengannya. Di sana sang sucita juga
diberi nasihat oleh ayah sang diah karuni “ pemuda baik sang sucita, jatuh
cinta itu wajar dengan lawan jenis, tetapi jaga baik-baik rasa cintamu itu
kepada sang diah karuni.” Kemudian diah karuni pun berkata sesuatu kepada sang
sucita,” sang sucita, terlalu cepat kita menyatakan saling mencintai. Untuk mengetahui karakter
masing-masing, sebaiknya kita berteman dahulu, sehingga apabila ada kecocokan
diantara kita, kita lanjutkan hubungan ini secara serius.”
Diceritakan Sang Subudi dan Sang Sucita yang
berkelana, kemudian dipanggil oleh sang Sugata,” Kemarilah sebentar untuk
beristirahat,kemarilah dulu untuk saling bertukar pikiran, sehingga kita
mendapatkan suatu pemecahan masalah yang bijak. “ Supaya sesuai dengan harapan
ayahku, semoga terwujudkan ,”ibaratkan bagai sinar bulan purnama yang terang
seakan memberikan petunjuk”. Itulah kata
Sang Meraga Nabe. Selanjutnya, banyak rintangan dalam hidup ini, dan itu patut
dipelajari dalam menjalani kehidupan ini. Ada pesan Ayah kepadamu Sucita dan
Subudi,” Jika Kalian sudah belajar banyak dan mengetahui pahit manisnya
kehidupan, sebenarnya orang yang mengalami kesengsaraan itu berawal dari
perbuatan yang tidak baik/adharma dan kebodohan yang juga menjadi penyebabnya.
Disamping itu kepintaran dan pengetahuan itu harus diazah, pengetahuan yang
luas harus dicari dan harus dijadikan sebagai pedoman, jangan kita
menyia-nyiakan kesempatan dimasa muda, disamping itu, kita sebagai makhluk social
juga harus saling peduli dengan rasa
kekeluargaan yang erat. Itulah yang perlu dimengerti.
Kemudian Sang Sucita dan Sang Subudi
melanjutkan perjalanan yaitu “Matirta Gama” . sebelum berangkat, Sang sucita
berpesan kepada diah karuni” Janganlah dikau terlalu khawatir akan diriku”. Dan
merekapun melanjutkan perjalanannya. Kemudian di dalam perjalanan , diceritakan
sang sucita dan sang subudi sampai pada tengah hutan, disana mereka bertemu
dengan I Busyet/ wanara petak yang bernama Diah Artati. Diah artati meminta
bantuan kepada Sang Sucita dan Sang Subudi , dan sekaligus mengucapkan terima
kasih sehingga anaknya dapat terbebaskan dari penjara Kaki Yaksa. Anak I Busyet
itu bernama I karbusa, Ibunya bernama Wulati.
Lanjut cerita, dewa jik namanya mempunyai banyak prajurit yang
sangat hormat dan berbakti kepada beliau. Dewa jik mempunyai satu orang anak
perempuan yang bernama Yaksa Srenggi. Diceritakan Sang Durgati ingin meminang
anakya, dengan cara bertarung melawan ayahnya. Sang Kalih dan Sang Wiku kemudian
datang untuk melerai dan memberikan beberapa kata-kata bijak untuk menenangkan
mereka. Diceritakan Sang Wiku ini tinggal di sebuah Kerajaan yang dengan
penduduk damai dan tentram serta padat disebutlah Negara santika. Sang wiku
melakukan Biksukha ke hutan dengan meninggalkan alam duniawi dan melakukan tapa
brata ke hutan.
Sang sucita dan Subudi mengucapkan
terima kasih atas berbagai macam tatwa yang telah diberikan kepadanya. Arti sujatinya, apabila kita menginginkan
sesuatu dengan tulus ikhlas, niscaya akan dikaruniai oleh Hyang Maha Pencipta /
Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Berlandaskan Dharma dengan asih, susila, agar
baik-baiklah menggunkannya. Jika sewaktu-waktu mengalami suatu mimpi buruk akan
firasat sesuatu hal, jangan itu yang menyebabkan menjadi penghalang semata.
Berpikir jernih itu kuncinya.
2.3. Sejarah
singkat mengenai biografi pengarang Ida Ketut Jelantik
IDA KETUT
JELANTIK adalah
salah satu dari beberapa sastrawan asal Buleleng yang semasa hidupnya bekerja
keras mempelajari tattwa atau darshana isi dari peradaban-batin Bali.
Kebesaran namanya dapat disejajarkan dengan nama legendaris I Gusti Bagus
Sugriwa, juga asal Buleleng, seorang Guru bagi banyak agamawan Bali sekarang.
Siapakah
Ida Ketut Jelantik itu? Sebagai manusia darah-daging ia lahir dan
dibesarkan di Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Singaraja. Ia meninggal pada
18 November 1961. Sebagai sastrawan ia telah 'menyumbangkan' sejumlah karya
penting dalam khasanah sastra Bali. Beberapa karyanya antara lain Geguritan
Sicita Subudi, Geguritan Lokika, Geguritan Bhagawadgita, satua Men Tingkas,
dan sebuah buku tattwa berjudul Aji Sangkhya.
Membicarakan Ida Ketut Jelantik sama menariknya
dengan membicarakan karya-karyanya. Dan memang seperti itulah ciri
orang-orang yang dalam hidupnya berkarya. Ada hanya batas tipis antara karya
dengan yang berkarya. Seperti juga tipis batas antara pikiran dengan yang
berpikir. Dalam tulisan kecil ini, akan dibicarakan salah satu karyanya,
yaitu Aji Sangkhya. Karya ini sangat penting dalam rangka memahami
konsep-konsep yang ada di balik pandangan-dunia Bali. Selain itu, juga
penting karena pandangan dunia yang ada dalam Aji Sangkhya dapat menjelaskan
dengan cukup sistematis sebagian besar upacara yang dilakukan di Bali.
IDA KETUT JELANTIK menyusun naskah Aji Sangkhya,
pada tahun 1947, dengan menggunakan bahasa Bali yang benar dan indah. Naskah
itu, dan juga barangkali salinannya, berpindah tangan di kalangan peminat dan
relasi tertentu saja. Selain karena ajaran yang ada dalam naskah itu tidak
mudah bagi seorang pemula, juga karena situasi dan kondisi dunia penerbitan
di Bali ketika itu masih jarang. Ia sendiri pada tahun itu menerbitkannya
dalam bentuk buku yang masih sangat sederhana. Seperti sebuah anak panah,
begitulah sebuah karya itu bisa diumpamakan. Begitu dilepas dari busur
pengarangnya, anak panah itu tidak lagi ada dalam kendali pengarangnya. Buku
sederhana Aji Sangkhya itu pun bergerak dan terus bergerak mencari dan
menemukan muara-muaranya.
Pada tahun 1950 seorang peneliti Belanda bernama C.
Hooykaas menerjemahkan naskah itu ke dalam bahasa Belanda, dengan judul
Changkhya Leer van Bali. Pada tahun 1972 ada seorang bernama Gde Sandhi, B.A.
mengaku beruntung mendapatkan naskah Aji Sangkhya dari sejumlah naskah yang
tertulis dalam bahasa Bali yang disusun oleh Ida Ketut Jelantik. Orang yang
'beruntung' itu kemudian membolak-balikkan naskah Aji Sangkhya itu untuk
memahami apa yang dikatakan dan untuk mengerti apa yang dimaksudkan.
Perjuangannya itu mengantarkannya pada satu kesimpulan untuk dirinya, bahwa
isi naskah itu penting, bahkan sangat penting. Bukan hanya penting untuk
dirinya, ia yakin bahwa isi naskah itu penting untuk orang Bali khususnya dan
untuk umat Hindu umumnya.
Apa yang
kemudian ia lakukan terhadap naskah itu? Beginilah pengakuannya.
'Mengingat perkembangan Agama Hindu di Indonesia, di
mana penganut-penganutnya kini telah tersebar luas di seluruh Indonesia,
sedangkan buku-buku yang bersifat keagamaan masih banyak yang tertulis dalam
bahasa daerah, khususnya Bahasa Jawa Kuno, maka untuk dapat mendalami ajaran
Agama itu penyusun berusaha menterjemahkan Aji Sangkhya ke dalam Bahasa
Indonesia, untuk mempermudah penganut-penganutnya dalam mempelajari Agamanya
(....).' (revisi ejaan oleh penulis, IBM).
Begitulah Gde Sandhi, B.A. kemudian mengerjakan alih
bahasa Aji Sangkhya dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia tak lama setelah ia
'beruntung' menemukan naskah itu. Dan setahun kemudian, 1973, buku berjudul
Aji Sangkha diterbitkan oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Bentuknya mungil
seukuran buku saku. Terdiri dari 57 halaman. Dengan tata letak dan perwajahan
sangat-sangat sederhana. Tanpa daftar isi, tanpa keterangan tentang penulis,
tanpa daftar pustaka, dengan hanya sedikit kata pengantar dari penerjemah.
Dan pengakuannya yang dikutip di atas, berasal dari kata pengantar itu.
Pengakuan itu menarik diperhatikan karena mencerminkan semangat yang tinggi
dan kecintaan luar biasa.
Setelah dibuka dengan penjelasan tentang Cetana
(unsur yang berkesadaran) dan Acetana (unsur tanpa kesadaran), buku Aji
Sangkhya dimulai dengan Bab I Paramashiwa Tattwa (Shiwa yang sunya). Bab II
Sadashiwa Tattwa (shiwa yang siddha-shakti), Bab III Shiwatma Tattwa (Shiwa
yang wisesa, Atma).
Purusa dan Pradhana Tattwa (Bab IV), Citta (Bab V),
Buddhi (Bab VI), Ahangkara (Bab VII), Ekadasa Indriya dan Panca Tan Matra
(Bab VIII), Panca Mahabhuta Tattwa (Bab IX), dan ditutup dengan penjelasan
tentang tattwa Manusa (Bab X), serta lampiran struktur tattwa menurut
pandangan Samkhyadarshana Bali.
Dari mana
Ida Ketut Jelantik mendapatkan sumber-sumber Tattwa yang disusunnya menjadi
sangat sistematis itu?
Pertanyaan tentang sumber adalah pertanyaan yang sah
adanya. Sumber adalah referensi. Referensi adalah petunjuk ke mana kita
mencari penjelasan lebih lanjut, dan juga ke mana kita mengecek 'kebenaran'
sebuah pernyataan dan ulasan. Dan inilah sumber-sumber yang diacunya:
Wrehaspatitattwa, Bhuwana Kosa, Tattwa Jnana, Brahmanda Purana, Panca
Wingsati Tattw, Yoga Sutra, Nirmalajnana, Sang Hyang Dasatma, Catur Yuga
Widhi Sastra, dan Sapta Bhuwana.
Deretan judul Kitab-Kita acuan di atas adalah
kelompok Kitab darshana yang tertua yang ditemukan di Bali. Para ahli yang
mendalami bidang ini menyatakan bahwa kitab-kitab tattwa-darshana lainnya
yang ditemukan di Bali adalah turunan dari kitab-kitab tua itu.
Apakah Aji
Sangkhya karangan Ida Ketut Jelantik adalah juga turunan dari kitab-kitab
itu?
Beberapa pengamat Bali pernah
menyatakan bahwa Aji Sangkha adalah ringkasan dari isi kitab-kitab itu. Ada
pula yang mengatakan bahwa Aji Sangkha adalah sistematisasi dari ajaran
kitab-kitab sumber itu.
Dan berikut inilah yang ingin saya katakan tentang
buku Ida Ketut Jelantik itu. Seumpamannya ada sepuluh buku yang diacu Ida
Ketut Jelantik, maka Aji Sangkhya adalah (menjadi) buku yang kesebelas. Bahwa
ada beberapa buku yang mengilhaminya, dan diakuinya sebagai sumber, itu
adalah masalah intertekstualitas, sebuah karya lahir karena ada banyak karya
yang terlebih dahulu memasuki pikiran pengarangnya. Ida Ketut Jelantik adalah
pengarang, bukan peringkas. Hanya saja dalam kasus Aji Sangkhya,
kepengarangannya tidak semenonjol dalam karya-karyanya yang lain, seperti
dalam Geguritan Sucita Subudi atau dalam Geguritan Lokika.
|
2.3. Pupuh /
Tembang yang digunakan menyangkut Pada Lingsa
Kelompok Sekar Alit, yang biasa
disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat
oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru
dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada
setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap
barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini
disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur
jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata.
Pelanggaran atas guru dingdong ini
disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut
jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa.
Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada
umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).
Adapun jenis-jenis tembang macapat (pupuh) yang terdapat di
Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat, di antaranya adalah:
Pupuh Sinom
|
|
||||||||||||||
Pupuh Ginada
|
|
||||||||||||||
Pupuh Durma
|
|
||||||||||||||
Pupuh Dangdang
|
|
||||||||||||||
Pupuh Pangkur
|
|
||||||||||||||
Pupuh Ginanti
|
|
||||||||||||||
Pupuh Semarandana
|
|
||||||||||||||
Pupuh Pucung
|
Slendro dan Pelog
|
||||||||||||||
Pupuh Megatruh
|
Laras Pelog
|
||||||||||||||
Pupuh Gambuh
|
Laras Pelog
|
||||||||||||||
Pupuh Demung
|
Laras Slendro
|
||||||||||||||
Pupuh Adri
|
Laras Pelog
|
Masing-masing pupuh yang tersebut di atas mengandung suasana
kejiwaan yang berbeda-beda. Suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut sangat
berguna untuk mengungkapkan suatu suasana dramatik dari suatu cerita / lakon.
Secara
umum hubungan antara suasana dengan jenis pupuh dapat dilukiskan sebagai di
bawah ini:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sekalipun demikian, pengaruh dari si penyanyi yang
membawakan pupuh tersebut dapat mengubah suasana yang ditimbulkan oleh pupuh
tersebut. Perlu pula diketahui bahwa kelompok tembang ini disebut pupuh
adalah berdasarkan bagan atau kerangka lagu yang ada pada masing - masing
pupuh ini. Berdasarkan isi atau cerita yang diungkapkan, jenis tembang ini
juga di sebut Guritan menurut cerita yang dikandungnya. Guritan Sucita berarti tembang macapat yang mengungkapkan cerita Sucita. Begitu pula halnya Guritan Jayaprana, Sampik,
Linggarpetak dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai dalam kelompok tembang
macapat ini adalah bahasa Kawi (jawa Kuno) dan bahasa Bali.
Berdasarkan
hukum Padalingsanya tembang - tembang macapat Bali ini dapat disusun seperti tabel
berikut ini:
|
BAB III
NILAI – NILAI YANG TERKANDUNG
DALAM GEGURITAN
3.1. Nilai
Agama
Pengertian
Nilai Agama
Nilai merupakan sesuatu yang
abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak
dan bertingkah laku. Kumpulan sikap
perasaan atau tanggapan , mengenai baik-buruk, mulia / hina, dan apakah itu
patut dan tidak patut menurut hati nurani seseorang. Sedangkan nilai agama adalah suatu pandangan atau
tanggapan sikap yang mengacu pada prilaku agama dengan berdasarkan konsep dan
pedoman kepercayaan yang dianut oleh seseorang.
Sucita I
Bagian 17. Pupuh
Sinom
“Sajeroning
itrikaya, tepetang da manyampahang, ditu Sang Hyang Tri Purusha, linggayang sembah baktinin,
hidepang maraga jati, tunasin hidep rahayu,
anggon sarin Atma raksa. Sakalayang dina rarti, apang suluk, hidepe twara bingbang”.
Teges Keberadaan Tri Kaya Parisuda itu
harus tepat digunakan dengan baik dan jangan meremehkan, disana Hyang Tri
Purusa stanakan dengan sembah dan bakti dan utamakan kasujatian, pakailah dasar
atma raksa baik siang dan malam. Dengan tujuan supaya tidak membingungkan
pikiran.
Bagian 20 Pupuh
Sinom
“Indik manyunang kurenan, liyu ngabe unduk rimbit, reh sanget ngawe
sengkala. Yen iwang baan nindakin, munah turunan padidi, kadat utamane pangguh,
mingkin ane madan gamya, ne ngawe letuhing gumi, sang prabu, yogya ida
manyisipang.”
Teges Tata cara menyunting seorang
istri pada tingkat Grahastha, yang ada di bagian Catur asrama, yang harus
berdasarkan lontar Cumbana Sasana, harus sering dibaca lontar itu, supaya pada
waktu menyunting seorang istri digaris yang benar untuk sebagai pedoman yang
direalisasikan di masyarakat.
Bagian 26
Pupuh
Sinom
“Ento babagyan kaya, palinggan Hyang Brahma luwih,sabdane mapalih pat,
mamunyi bangras impasin, misuna linyok kelidin, minakadi da mamisuh, ditu Hyang
Wisnu maraga manah dadi telung bagi, sa-mangugu, salwiring gawe pacing mabwah.”
Teges Sekarang dibagian trikaya yang
menyebutkan memiliki arti , pikiran ( jangan terlalu sering berbohong dan memperdaya
orang , disana Dewa Wisnu beristana), Laksana (kerakusan harus dihindari , agar
tidak membuat kerusakan dari yang lainnya). Laksana (Jika berbicara yang baik
dan benar, terhadap orang yang lebih tua .
3.2. Nilai
Sosial
Pengertian
Nilai Sosial
Nilai sosial adalah suatu tanggapan dari cerminan
sikap perasaan seseorang yang mengacu pada sifat kekeluargaan, saling
membutuhkan antar sesama, tolong-menolong, tenggang rasa, dan lainnya.
Bagian 41 Pupuh
Sinom
“Bibit
sayange pamula, apang kanti sida mentik, kenehe manulung anak, bani manesang
dihati, ngalih ne anggon nulungin, mangda kasidan rahayu, tan takut manadi
bela, matindih mangardi becik, ika tuhu, dharmaning sang budi satwa.”
Teges Bibir
harus dijaga dalam stiap mengeluarkan kata-kata, menolong dan brani membantu
tidak pilih kasih terhadap siapapun, pembela, membuat apa yang menjadi tujuan
hidup yaitu kebahagiaan budi satwa”
Laksana yang bagus”.
3.3. Nilai
Philosofi/Tatwa
Pengertian
Nilai Philosofi
Nilai Philosofi adalah suatu kumpulan tanggapan dari
cerminan sikap perasaan seseorang dengan mengacu pada suatu filsafat dalam
menjalani suatu kehidupan / mengenai makna yang hakiki tentang topic
pembicaraan yang dibicarakan.
Bagian 51 Pupuh
Sinom
“Ne maadan
Catur Varga, tegesnyane mangda kauningin, Dharma, Arta, Kama, Moksha.
Pidartanya siki-siki, dharma silane luwih, tahu ring patuning hidup, tan
mangimpasin pamongan, ngamong dharma sastra aji, sapatuduh, guru lan ratu da
tulak.”
Teges Catur Warga artinya, Dharma,
Arta, Kama dan Moksha. Salah satu yang pertama adalah dharma” laksana yang
bagus tepat dengan “swadharma”. Artha artinya mencari kekayaan harus dengan
mestinya, kalau sudah artha terpenuhi, baru melaksanakan kama/ mencari istri.
Moksa sesudah melalui beberapa tahapan tersebut dan jangan lupa diri, karena
semua itu tidaklah kekal abadi , karena akan kembali ke asalnya supaya dalam
keadaan bersih dikala mati, bertemu dengan-Nya dan capailah Moksa.
3.4. Nilai
Budaya
Pengertian
Nilai Budaya
Nilai
Budaya adalah terdiri dari konsepsi – konsepsi
yang hidup dalam alam fikiran dan sebagian
besar warga masyarakat mengacu mengenai
hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai ini yang ada dalam suatu
masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu,
nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan
alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang
tersedia dari proses pembentukan suatu cipta karsa yang
membudaya.
Bagian 6 Pupuh
Sinom
“ Undagi pande lan tukang, asta kosala-kosali,
akeh tan wenten pakirang, ngadeg mamarga malinggih, mapala hayu nyukanin, tur
uning mamagi dauh, nginganin salwiring karya, sasolahan lan gong gending, tan
kaitung, luwir ring indra buwana.”
Teges Pande (tukang besi), asta
kosala-kosali, banyak ada disini dan juga tari-tarian, gong (gamelan), seni
suara (geguritan) jika diumpamakan disana menjadi satu kesatuan hingga seperti
berada dalam Inra Buwana.
Sucita
II
3.5. Nilai
Susila
Bagian 2 Pupuh
Sinom
“Dijagate twara ada, ane tan mobah ngawe bangkit, yan tetep twara
melah, ngawe med manolegin, kadi surya yan upami, yan kalitepet satuwuk, bilih
jagate ya rusak, kebus puun tan maludih, sangkan luwung, pakaryan Ida Hyang
Titah.”
Teges Didunia ini tidak ada, yang
langgeng itu menyebabkan baik, bilamana langgeng tidak bagus, menyebabkan bosan
yang berkepanjangan dan muak, diibaratkan panasnya sinar matahari selalu pada
siang hari, sudah jelas dunia ini akan hancur akibat panas membara menjadikan
hancur berkepi-keping, karena itu sangat bagus ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bagian 3 Pupuh
Sinom
“Sajeroning kebudayaan, sami mobah twara
lepih, ne mapunduh dadi belas, ne pasha makumpul malih, tangan suku raga sami,
ugi pasha pacing pungkur, tuwin sarira lan atma, tan wangde belas manadi, salwir unduk twara ada tan maobah”
Teges Sebenarnya, didalam kebahagiaan
di dunia ini, semua itu berubah tidak ada sedikitpun yang menyatu itu menjadi
pisah, kemudian yang pisah itu berkumpul lagi, ibaratnya seperti tangan, kaki,
dan badan ini semua, sudah jelas besok akan terpisah. Kebenaran badan ini
dengan jiwa , akhirbya akan menjadi pisah, segala masalah didunia ini tidak ada
hal yang tidak berubah.”
3.6. Nilai
Agama
Bagian 8 Pupuh
Durma
“Kabawosang,
krana manggih suka duhka, solah deweke ngawinin, yan patut tingkahang, suka
pacing temokang, ditelah sukane panggih, sakewala, nu solahe tindakin”
Teges Diceritakan sebab menemukan bahagia dan sengsara ini, perbuatan diri kita
sendiri yang menyebabkan, jika perbuatan dharma dilaksanakan, bahagialah akan
bertemu, setelah kebahagiaan itu ditemukan, kembalilah kesulitan / kesengsaraan
itu akan ada.
Bagian 9 Pupuh
Durma
“Yening
hala duhka tan urung temokang, disuban duhkanne lisik, balik dadi suka, suba
suka buwin duhka, keto nerus pacing panggih, sakewala, nu solahe tindakin.”
Teges Jika perbuatan jahat / adharma
dilaksanakan , bertemulah dengan kesengsaraan, setelah sengsara itu habis,
kembali menjadi bahagia, setelah bahagia kembali sengsara begitulah seterusnya,
akan seperti itu/ roda kehidupan, tetapi masih perbuatan itu kita lalui.
Bagian 67 Pupuh
Ginanti
“Sarwa
maurip puniku, manusa pinih utanma, sida ngawisesa jagatm, bisa makatang ne
kaapti, sakala miwah niskala, sarwa tatwa miwah kaplajahin”.
Teges Segala yang hidup di dunia ini,
kehidupan sebagai manusialah yang paling utama, bisa menguasai dunia, bisa
menemukan yang diinginkan seperti kehidupan di dunia dan akhirat , segala
kesujatian itu bisa dipelajari.
Bagian 90 Pupuh
Ginanti
“Ma-Tri Sandya, sanget luwung, cihna bakti ring Hyang Whidi, nunas
ledang pangampura, saha ngicen sinar budi, dados papa mangda buyar, hidup mati
molih linggih”.
Teges Mengaturkan Tri Sandya sangat
baik, merupakan cirri hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, mohon maaf dan minta
petunjuk sebagai jalan terang pikiran ,supaya dikabulkan,dosa neraka supaya
hilang, hidup dan mati mendapat tempat yang baik.
Sucita III
3.7. Nilai
Sosial
Bagian 20 Pupuh
Sinom
“Bisa ngalap tresnan anak, nyuksmyang tan bisa lali, saling tanjen jati
sayang, ada ditu ada dini, ada dini ditu masi, saling jaga saling bantu, tan
kanti ya kaleleran, nanging sami saking jati, rukun adung, disisi teked
katengah.”
Teges Siapapun yang mampu membalas
pemberian orang mengucapkan terima kasih tidak pernah lupa, saling
mempersembahkan rasa sayang, apa ada disana ada juga disini, ada disini juga
ada disana, saling bela saling bantu, tidak menybabkan dia kesusahan, tapi
semua berdasarkan keiklasan , selalu rukun lahir maupun bhatin.
Bagian 21 Pupuh
Sinom
“Saling tulung ngawe melah, tan ada saling itungin, pang makatang gelah
anak, uli aluh pang makisid, mula ditu dadi dini, twara nyak saling tan tuyuh,
ne tan ngelah kotsahayang, ne ngelah ngiyet ngitungin, mangda durus, sami
manggihin kalegan.”
Teges Saling bantu untuk berbuat baik,
tidak ada saling hitung, supaya mendapatkan milik orang, dari gampang supaya
bisa berpisah semulanya disana menjadi disini, tidajk mau saling tidak kerja
yang tidak mampu diusahakanm yang mampu berdasarkan semangat memikirkan, supaya
menjadi semua menemukan kebahagiaan.
Bagian 1 Pupuh
Sinom
“Sujati luwih utama, sang makatang enten hati, ne sida
degdeg tan obah, duk ningeh ngadek ningalin, mangkin mangawinin becik, dyastu
matemah kewuh, manggeh twara
tahen runtag, apan sampun kraseng
hati, hala hayu, mula tong dadi pasahang”
Teges Sebenarnya sangat-sangat utama , siapapun yang bisa
mendapatkan kesadaran dalam hati, yang bisa tetap dan tidak pernah berubah / kuat, pada saat mendengarkan
mencium dan melihat, apalagi yang menyebabkan bahagia, apalagi menjadi sulit
tetap dan tidak pernah takut, oleh Karena sudah dirasakan oleh hatinya, baik
buruk betul-betul tidak bisa dipisahkan.
Bagian 2 Pupuh
Sinom
“Anake
sapunika, lebih elah manggih becik, unadika lan upaya, lebih enggal ipun keni ,
apan nto katongosin, bahan galange puniku, makrana ne saru samar, pepes karasa
dihati. Sangkan liu , utamane ditu bakat”.
Teges Bagi Orang yang demikian , sangat
gampanglah menemukan kbahagiaan itu bisa mengendalikan diri dan berusaha ,
lebih cepat dia mengena/ menyentuh , oleh karna itu ditempati oleh sinar atau
jalan terang itu, oleh karena yang masih gelap/ renang-renang, sering bisa
dirasakan dihatinya, oleh karna banyak sekali ke utaman itu bisa ditemukan
disana
Inti Sari Dari Sifat Penokohan
Geguritan Sucita
Karya
Ida Ketut Jlantik ini yaitu geguritan Sucita-Subudi, sangatlah menjadikan salah
satu maha karya yang mengagumkan bahkan melebihi karya-karya geguritan lainnya.
Dikatakan demikian karena di dalamnya memuat dalil-dalil falsafah /filsafat dan
penjabaran sesuatu hal yang sangat “dingin”. Tentang kesedihan, umpamanya ,
dalam karya nya Ida Ketut Jelantik memuat “dalil” seperti ini “
….jatin sengsara punika wetu saking tingkah pelih, pelih ipun saking
ketambetan, tambet dadi dasar sedih. Tambete ngawinang lacur….”. Selanjutnya masih dalam pupuh Ginanti VII . “ Tan
pawates tan pa tanggu, kitane saha nagihin, yening tan wenten kasidan, sinah
dadi sakit hati, ibuk sedih mangangsara ,masih tambet nasarin “. Dan
masih banyak lagi yang menyebabkan geguritan ini menjadi pujaan dan pedoman
dalam menjalani kehidupan di dunia.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah saya
mengamati dan menganalisis geguritan sucita I,II, dan III dapat saya simpulkan
bahwa, geguritan yang saya teliti ini bayak mengandung petuah-petuah yang berupa
saran yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu hal supaya
memiliki control diri di dalam menjalani kehidupan di dunia. Dengan bijak,
terarah sehingga dapat mencapai tujuan akhir yang mulia, “ Moksartham Jagadhita
Ya Cha Iti Dharma “.
Disini juga saya memberikan suatu saran, untuk lebih
melestarikan keberadaan karya sastra bali , baik itu karya sastra bali lama dan
karya sastra bali modern yang jaman sekarang mengalami banyak perkembangan.
Tidak ada salahnya kita sebagai para generasi muda hindu bali yang memegang
tonggak kokoh dari kebudayaan bali, untuk senantiasa ikut serta dalam program
ajeg bali yang dalam realisasinya ikut menjaga dan melestarikan warisan leluhur
kita yaitu dari segi bahasa, bentuk karya sastra lama, dan adat budaya yang
unik sebagai cirri khas masyarakat bali pada umumnya.
Mulai dari dalam diri kita sendiri dengan penuh rasa
sadar dan “Mulat Sarira” . Menginterpretasikan apa yang menjadi budaya kita dan
kewajiban kita sebagai para generasi muda hindu yang berlandaskan Dharma.
Sekian yang dapat saya analisis dari Geguritan Sucita
I.II dan III . semoga dengan terselesainya Ananlisis ini, dapat dijadikan suatu
pedoman sebagaimana mestinya di hati pembaca dan pemeriksa. Apabila ada yang
kurang berkenan, saya mohon maaf. Terima Kasih.
sangat luar biasa,sebagai pedoman hidup
BalasHapusSangat bagus,semoga bermamfaat
BalasHapusMengifirasi
BalasHapussuksma, menambah wawassan ....
BalasHapus