PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Bali merupakan Bahasa Ibu yang
digunakan sebagai alat komunikasi oleh semua masyarakat Bali dalam setiap
aktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk pula dalam
kegiatan agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat Bali.
Bahasa bali merupakan bukti historis
bagi masyarakat bali. Sehubungan dengan itu, bahasa sebagai salah satu bagian
dari kebudayaan bali dan sekaligus pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi
budaya bali yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social ,
politik dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat bali. Bahasa bali
yang merupakan sebuah system kebahasaan dan budaya yang berfungsi sebagai akar
pelestari kebudayaan Bali, tidak seyogyanya tergusur oleh sistematika bahasa
nasional ataupun bahasa asing dan bahkan bahasa lain daerah. Dengan kata lain
bahasa bali yang merupakan fitur kebudayaan dunia harus dapat berkembang secara
mandiri dan berkelanjutan, sehingga dapat merespon perubahan yang sedang dan
yang akan terjadi.
Pada jamanya Bali Kuno atau Bali Mula
tidak mengenal adanya sor singgih. Namun semenjak kedatangan Majapahit yang
membawa pengaruh yang sangat kuat di Bali terutama dalam bahasa dimana ada
percampuran antara bahasa bali kuna dan bahasa jawa kuna yang menghasilkan
bahasa Bali Alus. Keberadaan bahasa Bali Alus ini memiliki variasi yang cukup
rumit karena adanya sor singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara,
dan hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali memberikan indikasi
kesejarahan dan perkembangan bahasanya meski dalam arti yang sangat terbatas.
Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa bali kuno yang sering disebut
dengan bahasa Bali Mula atau Bali aga, bahasa Bali tengahan atau kawi Bali,dan
bahasa Bali kepara yang sering disebut Bali Baru atau Bahasa bali Modern.
Bahasa Bali kuno adalah bahasa Bali yang
belum kena pengaruh bahasa lain yang digunakan unutk menulis prasasti-prasasti.
Bahasa Bali tengahan adalah bahasa campuran antara bahasa sansekerta, bahasa
Jawa kuna atau bahasa kawi, bahasa Jawa tengahan dan bahasa Bali yang umum pada
masa ini, bahasa Jawa tengahan digunakan untuk menuliskan prasasti, sejarah,
filsafat, pengobatan, keagamaan dan sastra. Bahasa Bali Baru atau Anyar
merupakan bahasa Bali yang masih hidup dan dipakai dalam konteks komunikasi
lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang.
Dalam penerapannya, bahasa bali lebih
sering digunakan dalam dibidang sosiolinguistik bahasa bali yang lebih
menekankan pada penggunaan bahasa berdasarkan objek penelitian antara hubungan
bahasa yang digunakan dengan faktor-faktor social dalam masyarakat hindu di
bali yang mengenal system kasta (warna) / kelas penggolongan masyarakat itu
sendiri. Bahasa bali merupakan bukti historis bagi masyarakat bali. Sehubungan
dengan itu, bahasa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan bali dan sekaligus
pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya bali yang di dalamnya terekam
pengalaman estetika, religi, social , politik dan aspek-aspek lainnya dalam
kehidupan masyarakat bali. Bahasa bali yang merupakan sebuah system kebahasaan
dan budaya yang berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali, tidak
seyogyanya tergusur oleh sistematika bahasa nasional ataupun bahasa asing dan
bahkan bahasa lain daerah. Dengan kata lain bahasa bali yang merupakan fitur
kebudayaan dunia harus dapat berkembang secara mandiri dan berkelanjutan,
sehingga dapat merespon perubahan yang sedang dan yang akan terjadi.
Dari pemaparan diatas tentang pengertian
bahasa Bali maka bahasa Bali jauh dari kaitannya dengan bahasa feodal yang
sifatnya menyeluruh digunakan tanpa ada tingkatan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas kami dapat menarik suatu masalah yakni:
1. Pengertian
dari bahasa Bali?
2. Pengertian
bahasa feodal?
3. Kenapa
Bahasa Bali bukanlah Bahasa Feodal?
1.3 Tujuan
Agar pembaca makalah ini mengetahui dan memahami apa
arti Bahasa Bali, arti Bahasa feodal dan agar pembaca mengetahui dan paham
kalau Bahasa Bali itu bukanlah Bahasa Feodal. Sehingga pembaca tidak salah
paham akan hubungan bahasa Bali dengan Bahasa feudal.
1.4 Manfaat
Agar mahasiswa dapat menginterpretasikan
bahasa bali yang bukanlah sebagai bahasa feodal. Dengan mengetahui dan memahami
bahasa bali bukanlah bahasa feodal, para pembaca dapat merealisasikan isi
makalah ini dalam kehidupan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bahasa Bali
Bahasa
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “kekuatan”,
jadi kata “Bali” berarti “pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan
kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Sebagai bahasa, bahasa
Bali merupakan bahasa warisan budaya Bali yang sangat penting yang harus
dilestarian dan dikembangkan. Hal ini hendaknya menjdai kewajiban seluruh
generasi manusia Bali untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya, serta
mentransformasikan dalam konteks tuntutan perkembangan zaman.
Bahasa
Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipeliahara
dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali
merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar masyarakat
Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas kehidupan
sosial masyarakat Bali. oleh karena itu, bahasa Bali merupakan pendukung
kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang di Bali. Dilihat dari jumlah
penuturnya, bahasa Bali didukung oleh lebih kurang setengah juta jiwa dan
memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa daerah besar
diantara beberapa bahasa daerah di Indonesia.
Bahasa
bali merupakan suatu ilmu tata wicara / berbicara (bahasa daerah) yang memiliki
systematika baik dari segi penlafalan dan aksara (mempunyai system syllabic)
sebagai alat komunikasi bagi masyarakat bali pada khususnya. Dalam
penerapannya, bahasa bali lebih sering digunakan dalam dibidang sosiolinguistik
bahasa bali yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa berdasarkan objek
penelitian antara hubungan bahasa yang digunakan dengan faktor-faktor social
dalam masyarakat hindu di bali yang mengenal system kasta (warna) / kelas penggolongan
masyarakat itu sendiri.
Pada
bahasa bali atau keterampilan berbicara (kepewaraan) dengan menggunakan bahasa
bali yang harus diperhatikan adalah kaidah-kaidah yang menyangkut aturan dalam
berbicara dengan menggunakan bahasa bali tersebut. Dalam artian, tidak
semena-mena dalam menggunakan bahasa bali sebagai sarana komunikasi baik dengan
siapa yang menjadi lawan bicara pada konteksnya agar memiliki kaidah yang patut
/ baik, benar dan sesuai dengan penggunaannya dalam kehidupan.
Peradaban masyarakat bali, sejak
dari dulu hingga sekarang yang pada umumnya selalu menggunakan bahasa daerahnya
sebagai sarana komunikasi yaitu bahasa bali. Jika ditinjau dari segi historis ,
bahasa bali mengenal tiga periodisasi yaitu :
1. Bahasa
Bali Kuna adalah bahasa bali yang dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman
raja-raja Bali kuna sebagaimana ditemukannya prasasti-prasasti bali kuna baik
itu lontar yang berisikan huruf / bahasa jawa kuna.
2. Bahasa
Bali tengahan , adalah bahasa bali yang dipakai untuk menuliskan karya-karya
sastra seperti kidung-kidung, babad, wariga, usada, usana, niti dan sebagainya.
3. Bahasa
Bali Kepara atau Bahasa Bali Lumrah , adalah bahasa Bali yang masih hidup
sampai sekarang yang dipakai sebagai alat komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari, untuk mengadakan suatu interaksi dengan lawan bicaranya. Bahasa
bali periode yang terakhir, jika dilihat dalam pemakaiannya memiliki system
tingkatan-tingkatan yang dalam bahasa itu disebut dengan Sor-Singgih Basa Bali .
Masyarakat
bali , dalam etika pergaulannya selalu dilandasi dengan sonpan santun, yang
terpola dalam bingkai “ manyama braya” ini sebagai
membentuk karakter dan pola pikir termasuk sikap mental orang bali, sehingga
dalam berkomunikasi pun akan selalu memilih dan memilah ketika dihadapi suatu
konteks / keadaan yang merujuk pada situasi saat memakai tingakatan-tingkatan
Bahasa bali yang bertujuan untuk menyesuaikan dan ketepatan / kecakapan
berbicara dengan identitas / status lawan bicaranya. Setiap komunikasi dalam
pergaulan, tata karma dapat dipastikan ada didalamnya. Dalam hal ini tata karma
dalam pergaulan sangat diperlukan dengan adanya etika dan kesopansantunan
berbahsa. Antara tata karma dan bahasa dalam pergaulan hidup bermasyarakat,
keduanya tidak dapat dipisahkan, ibarat
benang yang dijalin menghasilakn suatu tenunan yang utuh.
Dalam
penggunaan Sor-Singgh Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat orang Bali,
menurut kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar
Provinsi Bali menguraikan bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus
atau hormat. Sor-Singgih. Jadi Sor-Singgih Basa Bali berarti aturan
tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa / perasaan
yang merujuk pada rasa solidaritas dengan saling hormat menghormati dalam
menggunakan bahasa Bali terhadap lawan bicara. Berikut adalah pembagian
terhadap tingkatan-tingkatan bahasa bali menurut Sor-Singgihnya yang terdiri
dari :
1. Basa Kasar ,Kasar Pisan/ Kasar Jabag
2. Basa Andap
3. Basa Madia
4. Basa Alus, Alus Sor, Alus Mider, dan Alus
Singgih
5. Basa Mider
·
Pembahasan
Basa Kasar
Basa
kasar adalah tingkatan bahasa bali yang memiliki rasa bahasa paling bawah. Basa
kasar dibedakan menjadi 2 yaitu : basa kasar pisan dan basa kasar jabag.
Basa
kasar pisan adalah bahasa bali yang didalam penggunaannya tergolong tidak sopan
dan tidak memiliki nilai etika moral, sehingga menimbulkan konotasi/ kesan yang
buruk bagi penyimaknya. Bagi mereka yang terkena perkataan / bahasa ini bias
mendapat “leteh” yang harus
dibersihkan dengan melakukan penyucian diri (prayasita) bagi mereka yang
termasuk catur wangsa.
Contoh
:
-
“Cicing
iba, ngenken iba mai ngleklek !”
-
“Anjing
kamu, mau apa kamu kesini !”
-
“Iba
bungut dogen, tegarang suud mapeta !”
-
“kamu
bicara saja, sudahi pembicaraan !”
·
Pembahasan
Basa Kasar Jabag
Basa
Kasar Jabag adalah Bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai dengan
situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa itu tidak mengindahkan
tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa bali
yang kadang kala melampaui etika pembicaraan. Biasanya cenderung dipakai
pada suatu konteks yang merujuk pada keadaan keakraban, kelebihan dan
keangkuhan sang pembicara dengan lawan bicaranya.
Contoh :
-
“I Bapa pules di bale asagane”
-
“Ayah tidur di tempat peristirahatan”
-
“Gusti ngurah mara teka, suba ke ngabe
gapgapan?”
-
“Gusti ngurah baru dating, sudahkah membawa oleh-oleh?”
·
Pembahasan
Basa Andap
Basa
Andap adalah tingkatan bahasa bali yang digunakan dalam suasana bersahaja (
dalam pergaulan akrab dan memiliki nilai kesopanan). Sehingga sering disebut
dengan istilah basa kasar sopan / basa lumrah dipakai dalam kehidupan
sehari-hari bermasyarakat / kapara. Bahasa ini sering digunakan pada masyarakat
hindu di bali yang memiliki wangsa jaba.
Disini, bahasa bali sebagai bahasa sopan, digunakan apabila konteks bergaulnya
memiliki sikap keakraban / kekeluargaan yang terjalin erat, misalnya sesama
wangsa. Sama kedudukannya , sama umur, sama pendidikan, sama jabatan, kawan
sederajat dan merupakan bahasa kekeluargaan.
Contoh :
-
Percakapan antar wangsa ksatriya :
-
“Beli Gus De, dija kejang jajane tuni,
Mbok Dayu be kenyel pisan ngalihin”
-
“Kak Gus De, dimana menaruh kue, Kak
Dayu sudah letih sekali mencarinya”
·
Pembahasan
Basa Madia
Basa
Madia adalah tingkatan bahasa bali yang tergolong menengah, yang nilai rasa
bahasanya berada diantara bahasa bali andap dan bahasa bali alus. Artinya bahwa
konotasi bahasa madia tidak kasar, dan juga tidak halus, karena itulah sering
juga disebut dengan bahasa antara ( tidak halus dan juga tidak kasar). Basa
Madia itu digunakan apa bila wangsa atau status sosialnya dalam masyarakat
lebih tinggi berbicara dengan wangsa yang status sosialnya lebih rendah, tetapi
lebih tua atau lebih disegani yang mendududki suatu jabatan tertentu dalam
masyarakat / adat misalnya “ klian banjar dinas/ adat” maupun pejabat /
instansi pemerintahan atau swasta, dalam situasi percakapan tersebut tentunya
akan menggunakan Basa Madia.
Contoh :
-
“Ampunang
irika negak, ten tepukin tiang”
“Jangan
duduk disana, saya tidak melihatmu”
-
“Mara suud ngajeng, suba nagih mepamit”
“Baru
saja selesai makan, sudah mau pergi”.
·
Pembahasan
Basa Alus
Basa
Alus adalah sebagai tingkatan bahasa bali yang mempunyai nilai rasa bahasa yang
tinggi atau sangat hormat, biasanya bahasa ini digunakan dalam situasi resmi (
seperti rapat , pertemuan, seminar, percakapan adat agama dll). Pembagian basa
alus terdiri dari :
·
Basa
Alus Sor
Adalah
tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang mengenai diri sendiri atau
digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk orang lain / objek yang
dibicarakan yang patut direndahkan / bias juga karena status sosialnya yang
dianggap lebih rendah dari orang yang diajak bicara.
Contoh :
- Titiang jagi grereh pakaryan sane
patut anggen pangupa jiwa
Saya
ingin mencari pekerjaan yang sesuai
untuk pemenuhan
hidup
·
Basa
Alus Mider
Adalah
tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang memiliki nilai rasa tinggi atau
sangat hormat yang dapat digunakan untuk golongan bawah dan juga untuk golongan
atas. Basa alus mider adalah bahasa bali alus dwi fungsi, bias masuk dalam basa
bali alus singgih dan juga bias masuk dalam basa bali alus sor. Contoh :
-
“Ipun
makta asiki, ida makta kekalih”
“Ia
membawa satu, beliau membawa dua”
·
Basa
Alus Singgih
Adalah
tingkatan bahasa bali alus atau hormat yang hanya dapat digunakan oleh
pembicara untuk menghormati atau memuliakan orang yang patut dihormati atau
dimuliakan.
Contoh :
-
“
I Ratu kayun ngrayunang
ulam bawi?”
-
“Ratu,
yening wenten karya ring geria, nikain
titiang”
·
Pembahasan
Basa Mider
Adalah
kata-kata dalam bahasa bali yang tidak memiliki tingkatan-tingkatan rasa
bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan untuk dan kepada siapa saja. Selain
itu dalam pemakaiannya tidak terikat dengan status social dalam masyarakat,
situasi / kondisi pembicaraan. Contoh :
(kata sifat) nyongkok, kija, ke kantor (tempat), televisi/ radio (kata benda),
Itulah
tingkatan-tingkatan bahasa bali yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat di
bali pada umumnya.
Dikatakan
Model Bahasa seperti itu digunakan karena itulah ciri khas yang dimiliki oleh
masyarakat bali yang menggunakan bahasa bali sebagai bahasa daerah yang
memiliki system penlafalan yang unik, dengan penggunaan bahasa yang dapat
ditinjau dari segi sosiolinguistik yang lebih menitik beratkan pada fungsi
penggunaan bahasa dalam pergaulan / kehidupan bermasyarakat, religi, politik
dan keagamaan, serta memiliki system syllabic yang unik dengan penlafalan satu
huruf bali melambangkan satu suku kata dalam penggunaan dari aksara dari bahasa
bali itu sendiri. Perlu diketahui, Bahasa Bali yang merupakan bahasa ibu, akan
tetap hidup dan lestari apabila semasih unsur kebudayaan spiritual hindu masih
tetap eksis di bali, karena yang lebih mendukung dalam usaha pelestarian bahasa
bali ini adalah para generasi muda hindu yang akan menjadi cikal-bakal penerus
kebudayaan yang diwariskan dari jaman-ke jaman. Karena yang paling kental dan
melekat dalam penggunaan bahasa bali ini adalah salah satunya banyak ditemukan
dalam upacara ritual keagamaan khususnya hindu “Mabebaosan”atau “Pewarah”
serta sekaligus penggunaan aksara / huruf bahasa bali pada upakara “
ulap-ulap” serta aksara “Kajang”
yang digunakan pada ritual hindu pada upacara
Ngaben (Pitra Yadnya) dan pada saat upacara Catur Yadnya , saat rapat
/ Sabha / Paum desa pakraman / adat .
Dalam
kehidupan bermasyarakat, seluruh masyarakat yang tinggal di bali , wajib
mengetahui dan mempunyai keterampilan
berbahasa bali, karena hal itu merupakan warisan kebudayaan dari jaman-ke
jaman. System penggunaan bahasa bali itu sendiri harus selalu memperhatikan
tingkatan-tingkatan basa bali sesuai dengan konteks/ situasi dan kondisi dalam
berkomunikasi / berinteraksi dengan lawan bicara kita, agar sesuai dengan
kaidah-kaidah , tata etika, dan memiliki nilai moralitas yang tinggi dalam
pergaulan di kehidupan sehari-hari.
Penggunaan basa Sor-Singgih Bali itu yang harus diperhatikan adalah
adanya pembagian Catur Wangsa yang ada di Bali. Wangsa disini dapat diartikan
sebagai pembagian golongan masyarakat berdasarkan kelahirannya. Jadi yang
dimaksud Catur Wangsa / Warna adalah empat golongan yang terdapat pada
masyarakat hindu di Bali. Pembagian Catur Wangsa itu terdiri dari :
1. Wangsa
Brahmana : Wangsa yang paling dihormati dan biasanya jika ditinjau dari
kelahirannya, mempunyai kedudukan tinggi sebagai guru yang memberikan
pencerahan kerohanian / suci kepada para wangsa lainnya. Biasanya bahasa yang
digunakan adalah bahasa alus singgih.
2. Wangsa
Ksatriya : Wangsa yang dihormati dan biasanya jika ditinjau dari kelahirannya,
mempunyai kedudukan sebagai seorang pemimpin / kepemerintahan. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa alus sor, dan basa alus mider, basa madia.
3. Wangsa
Wesia : Dalam Wangsa ini , jika ditinjau dari segi kelahirannya, mempunyai
kedudukan dalam bidang “pertukangan” / ulet melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan profesi yang digelutinya (pande). Bahasa yang digunakan
biasanya basa alus sor, basa andap, basa madia, dan basa kasar jabag
4. Wangsa
Sudra : Wangsa ini merupakan wangsa terakhir dalam penggolongan Catur Wangsa.
Jika ditinjau dari segi kelahirannya, mempunyai kedudukan dalam bidang
keniagaan/ kewirausahaan “dagang”
yang melakukan aktifitas jual beli sebagai mata pencaharian dalam kehidupan
bermasyarakat. Bahasa yang digunakan , basa madia, basa andap, basa kasar jabag
.
Itulah
system pembagian dalam penggunaan Bahasa Bali ditinjau dari penggolongan warna/
wangsa yang ada di dalam masyarakat hindu di Bali menurut kelahiran pada
umunya.
Terjadinya
penggunaan Bahasa yang memakai system pembedaan kelas / warna (wangsa) dalam
masyarakat hindu di bali adalah merupakan suatu warisan dari leluhur yang
dilihat dari segi kelahirannya terdahulu. Pada ummunya masyarakat dengan
penggolongan warna/ wangsa di bali hidup rukun dan harmonis dengan saling
menjunjung rasa kekeluargaan, saling hormat-menghormati dengan menggunakan
bahasa yang sesuai dengan kaindah-kaidah yang menyangkut tata etika susila
dalam pergaulan bermasyarakat. Selain itu dalam masyarakat hindu di Bali selalu
berpedoman pada tiga kerangka dasar agama hindu yaitu filsafat, etika dan
upakara dalam pelaksaan kehidupan bermasyarakat, ritual keagamaan, dan
bersosial. Selain itu penggunaan bahasa yang memakai system pembedaan kelas
masyarakat selalu memperhatikan pedoman “Desa
Kala Patra” yang artinya penggunaan bahasa yang sebagai keterampilan berbicara
harus sesuai dengan tempat/ situasi kondisi lingkungan dalam konteks
pembicaraan (desa), waktu (kala) sesuai dengan topic pembicaraan terkini
dibicarakan, dan (patra) menganut fungsi / pembicaraan yang kita sampaikan
memiliki daya guna yang tepat ,padat dan berisi yang dapat dijadikan sebagai
pedoman / direalisasikan / mempunyai daya interpretasi bagi penyimaknya yang
sebagai lawan pembicara.
2.2
Arti Kata Feodal
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Kata Fe·o·dal /féodal/ ada tiga definisi mengenai kata
tersebut yaitu :
1. Berhubungan
dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan
2. Mengenai
kaum bangsawan (tentang sikap, cara hidup, dsb)
3. Mengenai
cara pemilikan tanah pada abad pertengahan di Eropa
Jika
ditinjau dari segi paham Feodalisme mempunyai arti sistem politik dan militer
antara seorang bangsawan feodal (bangsawan atau Paduka), dan pengikut-Nya.
Feodalisme berkembang dari abad kesembilan hingga abad kelima belas. Dalam
pengertian yang paling klasik, feodalisme mengacu pada sistem politik Abad
Pertengahan Eropa terdiri dari seperangkat kewajiban hukum dan militer timbal
balik antara bangsawan prajurit, bergulir di sekitar tiga konsep kunci dari
tuhan, pengikut, dan para tuan.
Istilah
feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak
pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan
istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di
lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul
istilah "masyarakat feodal".
Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif,
oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu
memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang
jelas.
Dalam
penggunaan bahasa
sehari-hari di Indonesia, kata feodal ini mengalami pergeseran makna
secara peyoratif dimana seringkali digunakan untuk merujuk pada
perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim,
seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama
yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah banyak melenceng dari
pengertian politiknya.
2.3
Bahasa Bali bukanlah bahasa feodal
Jika
berbicara mengenai eksistensi penggunaan bahasa yang memiliki tingkatan ini
pada era masa kini , sungguh suatu permasalahan yang pelik bagi masyarakat bali
pada umumnya. Apalagi di era Globalisasi ini, banyak sekali beberapa pengaruh
yang masuk dalam kehidupan masyarakat bali, baik dari segi kebudayaan,
berbahasa, seni, dan sastra yang berkembang pesat sehingga menjadi suatu pencampuran
alkulturasi didalamnya. Pada hal, penggunaan Bahasa Bali dengan memperhatikan Sor-Singgih
Basa Bali ini mencerminkan identitas dan status social diantara mereka sebagai
pembicara dan lawan biacara. Dan sekaligus berfungsi sebagai sarana edukasi
dalam melatih manusia, khususnya kaum muda hindu bali, memperhatikan situasi
social, dan saling menghormati serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran
terhadap adanya perbedaan social masyarakat.
Tetapi
terkadang tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan para pengguna bahasa
bali di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat sekarang cenderung mengatakan
bahwa orang yang menggunakan bahasa bali dengan memperhatikan sor singgih basa
bali terutama pada seorang pembicara / pewarah yang menyampaikan suatu
informasi kepada kaum brahmana atau kaum bangsawan dianggap Bahasa Bali itu
sebagai bahasa feodal, atau bahasa yang kolot, tidak modern atau ketinggalan
zaman, bahasa yang sudah lama bahkan ditinggalkan, atau bagi pengguna bahasa
bali yang demikian cenderung ditanggapi negative, yaitu “dengan menggunakan bahasa bali, diartikan orang tersebut ingin selalu
dihormati oleh orang lain,” oleh para pendengarnya di kehidupan masyarakat.
Salah
satu yang menyebabkan bahasa Bali dikatakan bukan bahasa feodal dapat dilihat
dari sejarah kebudayaan penutur Bahasa Bali. Bahasa Bali digunakan untuk
menunjukkan identitas penuturnya, dalam hal ini adalah untuk menunjukkan
identitas etnik Bali.
Disamping
itu pula bahwa penggunaan tingkat tutur (sor-singgih
basa) dapat juga berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih manusia,
khususnya kaum muda, memperhatikan status sosial dan menghormati manusia lain
serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran terhadap adanya perbedaan sosial
antar manusia, bukan feodalis. Sebagaiman diketahui bahwa bahasa Bali memiliki
sistem silabik (pola pesukuan) seperti bahasa-bahasa lainnya misalnya bahasa
Sunda, bahasa Jawa, bahasa Madura, dan yang lainnya. Disamping itu, dalam
pemakaianya bahasa Bali memiliki variasi yang disebut dialek. Dialek ini lebih
mengarah pada kebiasaan penuturnya menurut kedaerahannya, sehingga dikenal
dengan dialek geografi.
Maka
dari itu perlu adanya kiat-kiat serta usaha dari segenap masyarakat bali untuk
senantiasa melestarikan budaya sekaligus apa yang menjadi ciri khas bali itu
sendiri yang dikenal oleh banyak orang sebagai kebanggaan tanah air yang
mempunyai pulau dengan keindahan panorama alam, kesenian budaya, karya sastra
yang luar biasa, sekaligus bahasa yang menjadi khas masyarakat bali yang
sebagai warisan leluhur dari jaman-ke jaman.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas tentang bahasa Bali, kami
dapat menyimpulkan bahwa fungsi bahasa Bali yaitu: sebagai lambanng kebanggan
daerah dan masyarakat Bali, sebagai lambing identitas daerah dan masyarakat
Bali, sebagai alat penghubung didalam keluarga dan masyarakat Bali, sebagai
pendukung sastra daerah serta bahasa Bali merupakan sebagai sarana pendukung
budaya daerah dan budaya nasional Indonesia.
Sedangkan bahasa Feodal adalah bahasa
yang dianggap sebagai bahasa yang kolot, yang sudah lama ditinggalkan dan tidak
modern lagi, serta bagi pengguna bahasa tersebut, diartikan mereka ingin selalu
dihormati.
Dikatakan
bahasa Bali bukan bahasa feodal karena bahasa Bali adalah :
1.
Bahasa yang etnik merupakan bahasa yang
mempunyai nilai-nilai etika, dan keunikan tersendiri
2.
Merupakan suatu
ilmu tata wicara / berbicara (bahasa daerah) yang memiliki systematika baik
dari segi penlafalan dan aksara (mempunyai system syllabic) sebagai alat
komunikasi bagi masyarakat bali pada khususnya.
3.
Penggunaan Bahasa Bali dengan
memperhatikan Sor-Singgih Basa Bali ini mencerminkan identitas dan status
social diantara mereka sebagai pembicara dan lawan biacara. Dan sekaligus
berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih manusia, khususnya kaum muda
hindu bali, memperhatikan situasi social, dan saling menghormati serta memupuk
kerendahan hati yakni kejujuran terhadap adanya perbedaan social masyarakat.
3.2 Saran
Demikian
pemaparan dari makalah kami, semoga bermanfaat bagi pembaca terutama untuk
mengetahui tentang Bahasa Bali bukanlah bahasa feodal. Tentu makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kami
mohon pada pembaca untuk menyumbang kritik dan saran yang bersifat membangun.
Agar dikemudian hari jika membuat suatu karya ilmiah berupa makalah bisa lebih
baik dan lebih sempurna lagi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.nedirnedemek.com/feodal-sistem-nedir-feodal-sistem-ne-demek
Tim Penyusun, 1990. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tinggen, I Nengah. 2001. Kosa Basa Sor-Singgih Basa Bali. Rhika Dewata.
Sutama, I Made. 2006. “ Selamat Dalam Himpitan Waktu; Upaya Menumbuhkan Keterampilan Berbahasa Bali dalam Dua Jam Pelajaran” Makalah Yang Disajikan dalam Kongres Bahasa Bali VI di
Denpasar, 10-13 Oktober 2006.
Tim Penyusun. 2007. “Sor-Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali Dalam Dharma Papadikan, Pidarta Sambrama Wacana dan Dharma Wacana”
(Sebuah Renungan unntuk Perhatian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar