Rabu, 21 Agustus 2013

BAHASA BALI BUKAN BAHASA FEODAL


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Bahasa Bali merupakan Bahasa Ibu yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh semua masyarakat Bali dalam setiap aktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk pula dalam kegiatan agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat Bali.
Bahasa bali merupakan bukti historis bagi masyarakat bali. Sehubungan dengan itu, bahasa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan bali dan sekaligus pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya bali yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social , politik dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat bali. Bahasa bali yang merupakan sebuah system kebahasaan dan budaya yang berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali, tidak seyogyanya tergusur oleh sistematika bahasa nasional ataupun bahasa asing dan bahkan bahasa lain daerah. Dengan kata lain bahasa bali yang merupakan fitur kebudayaan dunia harus dapat berkembang secara mandiri dan berkelanjutan, sehingga dapat merespon perubahan yang sedang dan yang akan terjadi.
Pada jamanya Bali Kuno atau Bali Mula tidak mengenal adanya sor singgih. Namun semenjak kedatangan Majapahit yang membawa pengaruh yang sangat kuat di Bali terutama dalam bahasa dimana ada percampuran antara bahasa bali kuna dan bahasa jawa kuna yang menghasilkan bahasa Bali Alus. Keberadaan bahasa Bali Alus ini memiliki variasi yang cukup rumit karena adanya sor singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali memberikan indikasi kesejarahan dan perkembangan bahasanya meski dalam arti yang sangat terbatas. Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa bali kuno yang sering disebut dengan bahasa Bali Mula atau Bali aga, bahasa Bali tengahan atau kawi Bali,dan bahasa Bali kepara yang sering disebut Bali Baru atau Bahasa bali Modern.
Bahasa Bali kuno adalah bahasa Bali yang belum kena pengaruh bahasa lain yang digunakan unutk menulis prasasti-prasasti. Bahasa Bali tengahan adalah bahasa campuran antara bahasa sansekerta, bahasa Jawa kuna atau bahasa kawi, bahasa Jawa tengahan dan bahasa Bali yang umum pada masa ini, bahasa Jawa tengahan digunakan untuk menuliskan prasasti, sejarah, filsafat, pengobatan, keagamaan dan sastra. Bahasa Bali Baru atau Anyar merupakan bahasa Bali yang masih hidup dan dipakai dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang.
Dalam penerapannya, bahasa bali lebih sering digunakan dalam dibidang sosiolinguistik bahasa bali yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa berdasarkan objek penelitian antara hubungan bahasa yang digunakan dengan faktor-faktor social dalam masyarakat hindu di bali yang mengenal system kasta (warna) / kelas penggolongan masyarakat itu sendiri. Bahasa bali merupakan bukti historis bagi masyarakat bali. Sehubungan dengan itu, bahasa sebagai salah satu bagian dari kebudayaan bali dan sekaligus pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya bali yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social , politik dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat bali. Bahasa bali yang merupakan sebuah system kebahasaan dan budaya yang berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali, tidak seyogyanya tergusur oleh sistematika bahasa nasional ataupun bahasa asing dan bahkan bahasa lain daerah. Dengan kata lain bahasa bali yang merupakan fitur kebudayaan dunia harus dapat berkembang secara mandiri dan berkelanjutan, sehingga dapat merespon perubahan yang sedang dan yang akan terjadi.
Dari pemaparan diatas tentang pengertian bahasa Bali maka bahasa Bali jauh dari kaitannya dengan bahasa feodal yang sifatnya menyeluruh digunakan tanpa ada tingkatan.


1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas kami dapat menarik suatu masalah yakni:
1.      Pengertian dari bahasa Bali?
2.      Pengertian bahasa feodal?
3.      Kenapa Bahasa Bali bukanlah Bahasa Feodal?

1.3  Tujuan
Agar pembaca makalah ini mengetahui dan memahami apa arti Bahasa Bali, arti Bahasa feodal dan agar pembaca mengetahui dan paham kalau Bahasa Bali itu bukanlah Bahasa Feodal. Sehingga pembaca tidak salah paham akan hubungan bahasa Bali dengan Bahasa feudal.

1.4  Manfaat
      Agar mahasiswa dapat menginterpretasikan bahasa bali yang bukanlah sebagai bahasa feodal. Dengan mengetahui dan memahami bahasa bali bukanlah bahasa feodal, para pembaca dapat merealisasikan isi makalah ini dalam kehidupan



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian  Bahasa Bali
Bahasa Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “kekuatan”, jadi kata “Bali” berarti “pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Sebagai bahasa, bahasa Bali merupakan bahasa warisan budaya Bali yang sangat penting yang harus dilestarian dan dikembangkan. Hal ini hendaknya menjdai kewajiban seluruh generasi manusia Bali untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya, serta mentransformasikan  dalam  konteks tuntutan perkembangan zaman.
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipeliahara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa  Bali  merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali. oleh karena itu, bahasa Bali merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang di Bali. Dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Bali didukung oleh lebih kurang setengah juta jiwa dan memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa daerah besar diantara beberapa bahasa daerah di Indonesia.
Bahasa bali merupakan suatu ilmu tata wicara / berbicara (bahasa daerah) yang memiliki systematika baik dari segi penlafalan dan aksara (mempunyai system syllabic) sebagai alat komunikasi bagi masyarakat bali pada khususnya. Dalam penerapannya, bahasa bali lebih sering digunakan dalam dibidang sosiolinguistik bahasa bali yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa berdasarkan objek penelitian antara hubungan bahasa yang digunakan dengan faktor-faktor social dalam masyarakat hindu di bali yang mengenal system kasta (warna) / kelas penggolongan masyarakat itu sendiri.
            Pada bahasa bali atau keterampilan berbicara (kepewaraan) dengan menggunakan bahasa bali yang harus diperhatikan adalah kaidah-kaidah yang menyangkut aturan dalam berbicara dengan menggunakan bahasa bali tersebut. Dalam artian, tidak semena-mena dalam menggunakan bahasa bali sebagai sarana komunikasi baik dengan siapa yang menjadi lawan bicara pada konteksnya agar memiliki kaidah yang patut / baik, benar dan sesuai dengan penggunaannya dalam kehidupan.
              Peradaban masyarakat bali, sejak dari dulu hingga sekarang yang pada umumnya selalu menggunakan bahasa daerahnya sebagai sarana komunikasi yaitu bahasa bali. Jika ditinjau dari segi historis , bahasa bali mengenal tiga periodisasi yaitu :
1.      Bahasa Bali Kuna adalah bahasa bali yang dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman raja-raja Bali kuna sebagaimana ditemukannya prasasti-prasasti bali kuna baik itu lontar yang berisikan huruf / bahasa jawa kuna.
2.      Bahasa Bali tengahan , adalah bahasa bali yang dipakai untuk menuliskan karya-karya sastra seperti kidung-kidung, babad, wariga, usada, usana, niti dan sebagainya.
3.      Bahasa Bali Kepara atau Bahasa Bali Lumrah , adalah bahasa Bali yang masih hidup sampai sekarang yang dipakai sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, untuk mengadakan suatu interaksi dengan lawan bicaranya. Bahasa bali periode yang terakhir, jika dilihat dalam pemakaiannya memiliki system tingkatan-tingkatan yang dalam bahasa itu disebut dengan Sor-Singgih Basa Bali .
            Masyarakat bali , dalam etika pergaulannya selalu dilandasi dengan sonpan santun, yang terpola dalam bingkai “ manyama braya” ini sebagai membentuk karakter dan pola pikir termasuk sikap mental orang bali, sehingga dalam berkomunikasi pun akan selalu memilih dan memilah ketika dihadapi suatu konteks / keadaan yang merujuk pada situasi saat memakai tingakatan-tingkatan Bahasa bali yang bertujuan untuk menyesuaikan dan ketepatan / kecakapan berbicara dengan identitas / status lawan bicaranya. Setiap komunikasi dalam pergaulan, tata karma dapat dipastikan ada didalamnya. Dalam hal ini tata karma dalam pergaulan sangat diperlukan dengan adanya etika dan kesopansantunan berbahsa. Antara tata karma dan bahasa dalam pergaulan hidup bermasyarakat, keduanya tidak dapat dipisahkan, ibarat benang yang dijalin menghasilakn suatu tenunan yang utuh.
            Dalam penggunaan Sor-Singgh Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat orang Bali, menurut kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali menguraikan bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus atau hormat. Sor-Singgih. Jadi Sor-Singgih Basa Bali berarti aturan tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa / perasaan yang merujuk pada rasa solidaritas dengan saling hormat menghormati dalam menggunakan bahasa Bali terhadap lawan bicara. Berikut adalah pembagian terhadap tingkatan-tingkatan bahasa bali menurut Sor-Singgihnya yang terdiri dari :
1.        Basa Kasar ,Kasar Pisan/ Kasar Jabag
2.        Basa Andap
3.        Basa Madia
4.        Basa Alus, Alus Sor, Alus Mider, dan Alus Singgih
5.        Basa Mider
·         Pembahasan Basa Kasar
Basa kasar adalah tingkatan bahasa bali yang memiliki rasa bahasa paling bawah. Basa kasar dibedakan menjadi 2 yaitu : basa kasar pisan dan basa kasar jabag.
Basa kasar pisan adalah bahasa bali yang didalam penggunaannya tergolong tidak sopan dan tidak memiliki nilai etika moral, sehingga menimbulkan konotasi/ kesan yang buruk bagi penyimaknya. Bagi mereka yang terkena perkataan / bahasa ini bias mendapat “leteh” yang harus dibersihkan dengan melakukan penyucian diri (prayasita) bagi mereka yang termasuk catur wangsa.
Contoh :
-          “Cicing iba, ngenken iba mai ngleklek !”
-          “Anjing kamu, mau apa kamu kesini !”
-          “Iba bungut dogen, tegarang suud mapeta !”
-          “kamu bicara saja, sudahi pembicaraan !”
·         Pembahasan Basa Kasar Jabag
Basa Kasar Jabag adalah Bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai dengan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa bali  yang kadang kala melampaui etika pembicaraan. Biasanya cenderung dipakai pada suatu konteks yang merujuk pada keadaan keakraban, kelebihan dan keangkuhan sang pembicara dengan lawan bicaranya.
Contoh  :
-          “I Bapa pules di bale asagane”
-          “Ayah tidur di tempat peristirahatan”
-          “Gusti ngurah mara teka, suba ke ngabe gapgapan?”
-          “Gusti ngurah baru dating,  sudahkah membawa oleh-oleh?”
·         Pembahasan Basa Andap
Basa Andap adalah tingkatan bahasa bali yang digunakan dalam suasana bersahaja ( dalam pergaulan akrab dan memiliki nilai kesopanan). Sehingga sering disebut dengan istilah basa kasar sopan / basa lumrah dipakai dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat / kapara. Bahasa ini sering digunakan pada masyarakat hindu di bali yang memiliki wangsa jaba. Disini, bahasa bali sebagai bahasa sopan, digunakan apabila konteks bergaulnya memiliki sikap keakraban / kekeluargaan yang terjalin erat, misalnya sesama wangsa. Sama kedudukannya , sama umur, sama pendidikan, sama jabatan, kawan sederajat dan merupakan bahasa kekeluargaan.
Contoh  :
-          Percakapan antar wangsa ksatriya        :          
-          “Beli Gus De, dija kejang jajane tuni, Mbok Dayu be kenyel pisan ngalihin”
-          “Kak Gus De, dimana menaruh kue, Kak Dayu sudah letih sekali mencarinya”
·         Pembahasan Basa Madia
Basa Madia adalah tingkatan bahasa bali yang tergolong menengah, yang nilai rasa bahasanya berada diantara bahasa bali andap dan bahasa bali alus. Artinya bahwa konotasi bahasa madia tidak kasar, dan juga tidak halus, karena itulah sering juga disebut dengan bahasa antara ( tidak halus dan juga tidak kasar). Basa Madia itu digunakan apa bila wangsa atau status sosialnya dalam masyarakat lebih tinggi berbicara dengan wangsa yang status sosialnya lebih rendah, tetapi lebih tua atau lebih disegani yang mendududki suatu jabatan tertentu dalam masyarakat / adat misalnya “ klian banjar dinas/ adat” maupun pejabat / instansi pemerintahan atau swasta, dalam situasi percakapan tersebut tentunya akan menggunakan Basa Madia.
Contoh  :
-          Ampunang irika negak, ten tepukin tiang
“Jangan duduk disana, saya tidak melihatmu”
-          “Mara suud ngajeng, suba nagih mepamit
“Baru saja selesai makan, sudah mau pergi”.

·         Pembahasan Basa Alus
Basa Alus adalah sebagai tingkatan bahasa bali yang mempunyai nilai rasa bahasa yang tinggi atau sangat hormat, biasanya bahasa ini digunakan dalam situasi resmi ( seperti rapat , pertemuan, seminar, percakapan adat agama dll). Pembagian basa alus terdiri dari :
·         Basa Alus Sor
Adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk orang lain / objek yang dibicarakan yang patut direndahkan / bias juga karena status sosialnya yang dianggap lebih rendah dari orang yang diajak bicara.
Contoh  :          
-            Titiang jagi grereh pakaryan sane patut anggen pangupa jiwa
  Saya ingin mencari pekerjaan yang    sesuai untuk pemenuhan hidup
·         Basa Alus Mider
Adalah tingkatan bahasa Bali alus atau hormat yang memiliki nilai rasa tinggi atau sangat hormat yang dapat digunakan untuk golongan bawah dan juga untuk golongan atas. Basa alus mider adalah bahasa bali alus dwi fungsi, bias masuk dalam basa bali alus singgih dan juga bias masuk dalam basa bali alus sor. Contoh         :
-          Ipun makta asiki, ida makta kekalih”
“Ia membawa satu, beliau membawa dua”

·         Basa Alus Singgih
Adalah tingkatan bahasa bali alus atau hormat yang hanya dapat digunakan oleh pembicara untuk menghormati atau memuliakan orang yang patut dihormati atau dimuliakan.
Contoh  :
-          “ I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi?”
-          Ratu, yening wenten karya ring geria, nikain titiang”         

·         Pembahasan Basa Mider
Adalah kata-kata dalam bahasa bali yang tidak memiliki tingkatan-tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan untuk dan kepada siapa saja. Selain itu dalam pemakaiannya tidak terikat dengan status social dalam masyarakat, situasi / kondisi pembicaraan. Contoh : (kata sifat) nyongkok, kija, ke kantor (tempat), televisi/ radio (kata benda),
Itulah tingkatan-tingkatan bahasa bali yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat di bali pada umumnya.

         Dikatakan Model Bahasa seperti itu digunakan karena itulah ciri khas yang dimiliki oleh masyarakat bali yang menggunakan bahasa bali sebagai bahasa daerah yang memiliki system penlafalan yang unik, dengan penggunaan bahasa yang dapat ditinjau dari segi sosiolinguistik yang lebih menitik beratkan pada fungsi penggunaan bahasa dalam pergaulan / kehidupan bermasyarakat, religi, politik dan keagamaan, serta memiliki system syllabic yang unik dengan penlafalan satu huruf bali melambangkan satu suku kata dalam penggunaan dari aksara dari bahasa bali itu sendiri. Perlu diketahui, Bahasa Bali yang merupakan bahasa ibu, akan tetap hidup dan lestari apabila semasih unsur kebudayaan spiritual hindu masih tetap eksis di bali, karena yang lebih mendukung dalam usaha pelestarian bahasa bali ini adalah para generasi muda hindu yang akan menjadi cikal-bakal penerus kebudayaan yang diwariskan dari jaman-ke jaman. Karena yang paling kental dan melekat dalam penggunaan bahasa bali ini adalah salah satunya banyak ditemukan dalam upacara ritual keagamaan khususnya hindu “Mabebaosan”atau “Pewarah” serta sekaligus penggunaan aksara / huruf bahasa bali pada upakara “ ulap-ulap” serta aksara “Kajang” yang digunakan pada ritual hindu pada upacara Ngaben (Pitra Yadnya) dan pada saat upacara Catur Yadnya , saat rapat / Sabha / Paum desa pakraman / adat .
            Dalam kehidupan bermasyarakat, seluruh masyarakat yang tinggal di bali , wajib mengetahui dan mempunyai  keterampilan berbahasa bali, karena hal itu merupakan warisan kebudayaan dari jaman-ke jaman. System penggunaan bahasa bali itu sendiri harus selalu memperhatikan tingkatan-tingkatan basa bali sesuai dengan konteks/ situasi dan kondisi dalam berkomunikasi / berinteraksi dengan lawan bicara kita, agar sesuai dengan kaidah-kaidah , tata etika, dan memiliki nilai moralitas yang tinggi dalam pergaulan di kehidupan sehari-hari.  Penggunaan basa Sor-Singgih Bali itu yang harus diperhatikan adalah adanya pembagian Catur Wangsa yang ada di Bali. Wangsa disini dapat diartikan sebagai pembagian golongan masyarakat berdasarkan kelahirannya. Jadi yang dimaksud Catur Wangsa / Warna adalah empat golongan yang terdapat pada masyarakat hindu di Bali. Pembagian Catur Wangsa itu terdiri dari      :
1.      Wangsa Brahmana : Wangsa yang paling dihormati dan biasanya jika ditinjau dari kelahirannya, mempunyai kedudukan tinggi sebagai guru yang memberikan pencerahan kerohanian / suci kepada para wangsa lainnya. Biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa alus singgih.
2.      Wangsa Ksatriya : Wangsa yang dihormati dan biasanya jika ditinjau dari kelahirannya, mempunyai kedudukan sebagai seorang pemimpin / kepemerintahan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa alus sor, dan basa alus mider, basa madia.
3.      Wangsa Wesia : Dalam Wangsa ini , jika ditinjau dari segi kelahirannya, mempunyai kedudukan dalam bidang “pertukangan” / ulet melaksanakan pekerjaan sesuai dengan profesi yang digelutinya (pande). Bahasa yang digunakan biasanya basa alus sor, basa andap, basa madia, dan basa kasar jabag
4.      Wangsa Sudra : Wangsa ini merupakan wangsa terakhir dalam penggolongan Catur Wangsa. Jika ditinjau dari segi kelahirannya, mempunyai kedudukan dalam bidang keniagaan/ kewirausahaan “dagang” yang melakukan aktifitas jual beli sebagai mata pencaharian dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa yang digunakan , basa madia, basa andap, basa kasar jabag .
            Itulah system pembagian dalam penggunaan Bahasa Bali ditinjau dari penggolongan warna/ wangsa yang ada di dalam masyarakat hindu di Bali menurut kelahiran pada umunya.
            Terjadinya penggunaan Bahasa yang memakai system pembedaan kelas / warna (wangsa) dalam masyarakat hindu di bali adalah merupakan suatu warisan dari leluhur yang dilihat dari segi kelahirannya terdahulu. Pada ummunya masyarakat dengan penggolongan warna/ wangsa di bali hidup rukun dan harmonis dengan saling menjunjung rasa kekeluargaan, saling hormat-menghormati dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaindah-kaidah yang menyangkut tata etika susila dalam pergaulan bermasyarakat. Selain itu dalam masyarakat hindu di Bali selalu berpedoman pada tiga kerangka dasar agama hindu yaitu filsafat, etika dan upakara dalam pelaksaan kehidupan bermasyarakat, ritual keagamaan, dan bersosial. Selain itu penggunaan bahasa yang memakai system pembedaan kelas masyarakat selalu memperhatikan pedoman “Desa Kala Patra” yang artinya penggunaan bahasa yang sebagai keterampilan berbicara harus sesuai dengan tempat/ situasi kondisi lingkungan dalam konteks pembicaraan (desa), waktu (kala) sesuai dengan topic pembicaraan terkini dibicarakan, dan (patra) menganut fungsi / pembicaraan yang kita sampaikan memiliki daya guna yang tepat ,padat dan berisi yang dapat dijadikan sebagai pedoman / direalisasikan / mempunyai daya interpretasi bagi penyimaknya yang sebagai lawan pembicara.


2.2 Arti  Kata Feodal
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kata Fe·o·dal /féodal/ ada tiga definisi mengenai kata tersebut yaitu :
1.      Berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan
2.      Mengenai kaum bangsawan (tentang sikap, cara hidup, dsb)
3.      Mengenai cara pemilikan tanah pada abad pertengahan di Eropa
           Jika ditinjau dari segi paham Feodalisme mempunyai arti sistem politik dan militer antara seorang bangsawan feodal (bangsawan atau Paduka), dan pengikut-Nya. Feodalisme berkembang dari abad kesembilan hingga abad kelima belas. Dalam pengertian yang paling klasik, feodalisme mengacu pada sistem politik Abad Pertengahan Eropa terdiri dari seperangkat kewajiban hukum dan militer timbal balik antara bangsawan prajurit, bergulir di sekitar tiga konsep kunci dari tuhan, pengikut, dan para tuan.
            Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
            Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, kata feodal ini mengalami pergeseran makna secara peyoratif dimana seringkali digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.

2.3       Bahasa Bali bukanlah bahasa feodal
            Jika berbicara mengenai eksistensi penggunaan bahasa yang memiliki tingkatan ini pada era masa kini , sungguh suatu permasalahan yang pelik bagi masyarakat bali pada umumnya. Apalagi di era Globalisasi ini, banyak sekali beberapa pengaruh yang masuk dalam kehidupan masyarakat bali, baik dari segi kebudayaan, berbahasa, seni, dan sastra yang berkembang pesat sehingga menjadi suatu pencampuran alkulturasi didalamnya. Pada hal, penggunaan Bahasa Bali dengan memperhatikan Sor-Singgih Basa Bali ini mencerminkan identitas dan status social diantara mereka sebagai pembicara dan lawan biacara. Dan sekaligus berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih manusia, khususnya kaum muda hindu bali, memperhatikan situasi social, dan saling menghormati serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran terhadap adanya perbedaan social masyarakat.
            Tetapi terkadang tidak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan para pengguna bahasa bali di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat sekarang cenderung mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa bali dengan memperhatikan sor singgih basa bali terutama pada seorang pembicara / pewarah yang menyampaikan suatu informasi kepada kaum brahmana atau kaum bangsawan dianggap Bahasa Bali itu sebagai bahasa feodal, atau bahasa yang kolot, tidak modern atau ketinggalan zaman, bahasa yang sudah lama bahkan ditinggalkan, atau bagi pengguna bahasa bali yang demikian cenderung ditanggapi negative, yaitu “dengan menggunakan bahasa bali, diartikan orang tersebut ingin selalu dihormati oleh orang lain,” oleh para pendengarnya di kehidupan masyarakat.
            Salah satu yang menyebabkan bahasa Bali dikatakan bukan bahasa feodal dapat dilihat dari sejarah kebudayaan penutur Bahasa Bali. Bahasa Bali digunakan untuk menunjukkan identitas penuturnya, dalam hal ini adalah untuk menunjukkan identitas etnik Bali.
            Disamping itu pula bahwa penggunaan tingkat tutur (sor-singgih basa) dapat juga berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih manusia, khususnya kaum muda, memperhatikan status sosial dan menghormati manusia lain serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran terhadap adanya perbedaan sosial antar manusia, bukan feodalis. Sebagaiman diketahui bahwa bahasa Bali memiliki sistem silabik (pola pesukuan) seperti bahasa-bahasa lainnya misalnya bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Madura, dan yang lainnya. Disamping itu, dalam pemakaianya bahasa Bali memiliki variasi yang disebut dialek. Dialek ini lebih mengarah pada kebiasaan penuturnya menurut kedaerahannya, sehingga dikenal dengan dialek geografi.
            Maka dari itu perlu adanya kiat-kiat serta usaha dari segenap masyarakat bali untuk senantiasa melestarikan budaya sekaligus apa yang menjadi ciri khas bali itu sendiri yang dikenal oleh banyak orang sebagai kebanggaan tanah air yang mempunyai pulau dengan keindahan panorama alam, kesenian budaya, karya sastra yang luar biasa, sekaligus bahasa yang menjadi khas masyarakat bali yang sebagai warisan leluhur dari jaman-ke jaman.



BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Dari pembahasan diatas tentang bahasa Bali, kami dapat menyimpulkan bahwa fungsi bahasa Bali yaitu: sebagai lambanng kebanggan daerah dan masyarakat Bali, sebagai lambing identitas daerah dan masyarakat Bali, sebagai alat penghubung didalam keluarga dan masyarakat Bali, sebagai pendukung sastra daerah serta bahasa Bali merupakan sebagai sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia.
            Sedangkan bahasa Feodal adalah bahasa yang dianggap sebagai bahasa yang kolot, yang sudah lama ditinggalkan dan tidak modern lagi, serta bagi pengguna bahasa tersebut, diartikan mereka ingin selalu dihormati.
Dikatakan bahasa Bali bukan bahasa feodal karena bahasa Bali adalah :
1.                  Bahasa yang etnik merupakan bahasa yang mempunyai nilai-nilai etika, dan keunikan tersendiri
2.                  Merupakan suatu ilmu tata wicara / berbicara (bahasa daerah) yang memiliki systematika baik dari segi penlafalan dan aksara (mempunyai system syllabic) sebagai alat komunikasi bagi masyarakat bali pada khususnya.
3.                  Penggunaan Bahasa Bali dengan memperhatikan Sor-Singgih Basa Bali ini mencerminkan identitas dan status social diantara mereka sebagai pembicara dan lawan biacara. Dan sekaligus berfungsi sebagai sarana edukasi dalam melatih manusia, khususnya kaum muda hindu bali, memperhatikan situasi social, dan saling menghormati serta memupuk kerendahan hati yakni kejujuran terhadap adanya perbedaan social masyarakat.


3.2       Saran
Demikian pemaparan dari makalah kami, semoga bermanfaat bagi pembaca terutama untuk mengetahui tentang Bahasa Bali bukanlah bahasa feodal. Tentu makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kami mohon pada pembaca untuk menyumbang kritik dan saran yang bersifat membangun. Agar dikemudian hari jika membuat suatu karya ilmiah berupa makalah bisa lebih baik dan lebih sempurna lagi.
                       



DAFTAR PUSTAKA

http://www.nedirnedemek.com/feodal-sistem-nedir-feodal-sistem-ne-demek
Tim Penyusun, 1990. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Tinggen, I Nengah. 2001. Kosa Basa Sor-Singgih Basa Bali. Rhika Dewata.
Sutama, I Made. 2006. “ Selamat Dalam Himpitan Waktu; Upaya Menumbuhkan Keterampilan Berbahasa Bali dalam Dua Jam Pelajaran” Makalah Yang Disajikan dalam Kongres Bahasa Bali VI di Denpasar, 10-13 Oktober  2006.

Tim Penyusun. 2007. “Sor-Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali Dalam Dharma Papadikan, Pidarta Sambrama Wacana dan Dharma Wacana”   (Sebuah Renungan unntuk Perhatian).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar